Kamis, 08 Mei 2008

Hukum Memanfaatkan Najis

Akhir-akhir ini kelangkaan BBM menyeruak seiring rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah. Lalu beberapa pihak berusaha mencari inovasi mengatasi masalah kelangkaan dan mahalnya BBM tersebut. Ada yang mengembangkan sumber bahan bakar biogas yang berasal dari kotoran (bahkan kotoran manusia seperti kasus di Kediri, jawa Timur) untuk menyiasatinya. Lalu bagaimana Islam memandang hal ini?
Tulisan di bawah ini mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan itu. Tulisan ini adalah terjemahan dari isi kitab Al-Jami' li Ahkam Ash-Sholah.
Hukum Memanfaatkan Najis

Syara’ mengharamkan pemanfaatan najis secara umum dan muthlaq. Kaum muslimin wajib menjauhkan diri darinya. Namun hal itu tidak berlaku terhadap kaum kafir. Maka terhadap orang-orang kafir islam memberi toleransi dalam memanfaatkan benda najis untuk kalangan mereka. Ada toleransi bagi mereka untuk memanfaatkan khomr dan benda-benada najis. Ada toleransi bagi mereka untuk memanfaatkan babi, padahal babi itu najis. Ada toleransi bagi mereka untuk memanfaatkan segala hal yang mereka kehendaki dari barang-barang najis tanpa ada halangan dari negara khilafah. Maka seandainya mereka meminum air kencing mereka, dan mencampur darah ke dalam obat-obatan mereka, atau memakan bangkai, maka kaum muslimin tidak akan melarang mereka. Islam memerintahkan kaum muslimin untuk membiarkan kaum kafir dalam urusan apa-apa yang mereka sembah dan apa-apa yang mereka makan. Sedangkan bagi kaum muslim maka mereka bersih dan membersihkan diri dari perkara najis, bahkan mereka merasa jijik untuk mendekatinya. Di samping itu (islam) mewajibkan mereka untuk menghilangkan najis dan meniadakan pemanfaatannya dalam segala bentuk pemanfaatan, kecuali apa-apa yang dikhususkan oleh dalil, seperti anjing pemburu dan anjing penjaga, juga seperti kulit bangkai yang telah disamak. Selain ketiga hal ini tidak dibolehkan bagi umat islam untuk memanfaatkan najis secara muthlak. Sejumlah dalil telah mengatur masalah ini.
  1. Dari Ibnu Abbas bahwa rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda “Sesungguhnya Allah dan rasulNya mengharamkan jual-beli khomr, bangkai. babi, dan berhala. maka dikatakan “wahai rasulallaah, bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, karena dia dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit, dan dijadikan penerangan oleh orang-orang? Beliau menjawab: “tidak boleh, dia (huwa) haram” Diriwayatkan oleh Al Bukhori, Ahmad, dan ashabus sunan (para imam besar pemilik kitab sunan, yakni Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majjah, biasa disebut juga dengan Al Arba’ah / imam yang empat -pen).
  2. Dari Ibnu Abbas bahwa rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda Allah telah melaknat Yahudi -dikatakan tiga kali-. Sesungguhnya Allah mengharamkan atas mereka lemak maka mereka menjualnya dan memakan harganya. Apabila Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu maka diharamkan (juga) atas mereka harganya/hasil penjualannya. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan Baihaqi.
  3. Dari Ibnu Abu Hunaifah dari ayahnya bahwa dia (Abu Hunaifah) membeli alat bekam, kemudia dia memerintahkan agar alat bekam itu dipecahkan. Dan dia berkata “sesungguhnya rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan uang hasil penjualan darah, anjing, melacur. (Beliau) juga melaknat tukang tato dan yang meminta di tato, pemakan riba, pemberi riba, dan melaknat orang yang suka menggambar. Diriwayatkan oleh Ahmad Al Bukhori dan Muslim. Perkataannya “al muhaajim“, tunggalnya adalah “mihjam“, yaitu alat yang digunakan untuk bekam
  4. Dari Ibnu Abbas dia berkata jika (dia) datang untuk meminta harga anjing itu, maka penuhilah telapak tangannya dengan debu. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan rijaal-nya tsiqoot. Dan yang diriwayatkan oleh Ahmad dengan lafadz "uang hasil penjualan anjing itu kotor. (Rasulullaah) berkata : maka apabila (seseorang) datang untuk meminta uang penjualan anjing penuhilah telapak tangannya dengan debu!."
  5. Dari Maimunah Bahwa rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seekor tikus yang jatuh di dalam lemak kemudian mati. Beliau menjawab: ” Buanglah tikus itu dan lemak yang ada di sekitarnya. Lalu makanlah lemakmu (yang tersisa). Diriwayatkan oleh Al Bukhori, Maalik, Ahmad, An Nasa’i, dan Abu Dawud.
  6. Dari Wa’il Al Hadhromi bahwa Thoriq bin Shuwaid al Ju’fi bertanya kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam tentang khomr, lala nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya (untuk menggunakannya). Lalu ia berkata: Aku hanya menggunakannya untuk obat. Lalu Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “sesungguhnya ia bukanlah obat, akan tetapi penyakit. Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Ad Daarimi, Abu Dawud, dan Tirmidzi.

Hadits yang pertama menyebutkan tiga macam najis, yaitu khomr, bangkai, dan babi. Dan yang merupakan cabang dari yang kedua adalah lemak dari bangkai. Hadits tersebut juga mengatakan bahwa najis-najis itu haram untuk diperjual-belikan, haram memanfaatkan lemak untuk menggosok kapal, meminyaki kulit, dan penerangan. Maka hadits ini merupakan nash yang jelas tentang tidak bolehnya pemanfaatan benda-benda najis itu, baik untuk dijual atau untuk digunakan. Dalam hadits yang kedua ada kaidah fiqhiyyah yang menetang pemanfaatan benda-benda haram, termasuk di dalamnya benda-benda najis, yaitu bahwa segala hal yang haram untuk dimakan maka dia haram untuk dijual. Hadits yang ketiga mengharamkan jual-beli dalam dua jenis najis, yaitu darah dan anjing, sementara jual-beli merupakan salah satu dari sekian bentuk pemanfaatan. Hadits yang keempat menjadi dalil pengharaman jual-beli anjing <<"jika (dia) datang untuk meminta harga anjing itu, maka penuhilah telapak tangannya dengan debu">>. Sementara itu hadits yang kelima merupakan perintah dari rasul untuk membuang minyak yang dinajisi oleh bangkai. Sementara dalam hadits yang keenam rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam melarang pemanfaatan khomr meski untuk diubah atau dipergunakan, misalnya, sebagai obat.

Maka contoh-contoh tersebut menunjukkan keharaman pemanfaatan bangkai beserta lemaknya, pengharaman anjing, babi, darah, dan minyak yang terkena najis. Walau seandainya tidak ada hadits yang kelima, sungguh telah cukup (untuk menunjukkan bahwa memanfaatkan najis itu haram -pen). Hadits-hadits tersebut (empat hadits yang awal -pen) menunjukkan bahwa kelompok yang pertama merupakan bagian dari najis, sementara yang ditunjukkan oleh hadits yang kelima (yaitu tentang minyak yang tercemar bangkai), maka dia termasuk bagian dari hal yang mutanajis. Maka dari itu rasul memerintahkan untuk membuangnya dan melarang pemanfaatan minyak tersebut. Apabila sesuatu yang mutanajis harus dibuang, lantas bagaimana dengan hal-hal yang najis? (bukankah lebih utama untuk dibuang? -pen). Padahal kita telah mengetahui bahwa syara’ melarang kita untuk membuang-buang harta. Akan tetapi (syara’) memberi perintah untuk membuang atau menghilangkan kotoran, semisal bangkai, yang menempel pada harta, seperti ketika makanan terjatuh dari tangan. Hal itu berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Jabir bahwa beliau telah mendengar Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda <<“apabila salah seorang di antara kailan makan, kemudian suapannya jatuh dari tangannya, maka hendaklah dia membersihkan apa yang dia ragukan lalu hendaklah ia memakannya (yang bersih) dan jangan sisakan untuk syaithon, dan janganlah ia membersihkan tangannya dengan kain sebelum menjilatinya, karena sesungguhnya seseorang tidak mengetahui makanan yang manakah yang mengandung barokah”>>, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Muslim dan Ahmad. Saya katakan: apabila membuang makanan yang telah jatuh saja dilarang oleh syara’, maka kenapa syara’ memerintahkan kita untuk membuang sesuatu yang lebih berharga dari itu yang terkena najis -seperti minyak/mentega- kalau tidak karena memanfaatkan sesuatu yang najis itu dilarang?

Akan tetapi ada sejumlah ulama besar yang membolehkan memanfaatkan benda najis, di antara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Al Laits. Mereka mendasarkan pandangannya pada dalil-dalil berikut ini:
  1. Hadits yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu yang diberitakan oleh Al Bukhori dan selainnya dari jalan Jaabir.
  2. Dari Ibnu Umar “bahwa orang-orang bersama nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam turun ke Al Hijr, kampung kaum Tsamuud. Maka mereka mengambil air dari sumur-sumur kaum tersebut. Lalu mereka membuat suatu adonan roti darinya. Maka rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menumpahkan apa yang telah mereka timba, dan memberi makan unta dengan adonan tersebut…”. Diriwayatkan oleh Al Bukhoriy dan Muslim.
  3. Dari Muhayyishoh, saudara dari bani haritsah bahwa dia meminta ijin kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk bekerja sebagai tukang bekam, maka (Nabi) melarangnya. Tapi dia tidak berhenti bertanya dan meminta ijin untuk melakukannya, sehingga (nabi) berkata : “berikanlah (upahnya) pada buruhmu atau berikan kepada hamba sahayamu” diriwayatkan oleh Tizmidzi, dan beliau menyatakan hasan.

Maka jawaban atas mereka adalah bahwa hadits yang kedua -yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhaani (Sebutan untuk dua Syaikh besar dalam hadits, yaitu Al Bukhori dan Muslim -pen) dan hadits yang ketiga -yang diriwayatkan oleh Tirmidzi- tidak bisa digunakan untuk beristidlal dalam tema yang sedang kita bicarakan. Keduanya tidak membicarakan tentang najis dan mengambil manfaat darinya. Akan tetapi keduanya membahas tentang menggunakan barang-barang haram. Sesuatu yang haram tidak otomatis najis. Ganja adalah barang haram tapi tidak najis. Salib itu haram tapi tidak najis. Gambar atau patung diharamkan, tapi tidak najis. Demikian pula uang yang didapat dari membekam dan air sumur dari kaum yang menganiaya diri mereka sendiri. Meski demikian dalam masalah uang hasil bekam tidak ada kesepakatan fuqohaa tentang keharamannya. Sebagian mengharamkannya tapi sebagian lain membolehkan. Dan kami tidak ingin memasuki masalah tersebut agar tidak keluar dari tema yang kita diskusikan. Atas dasar itu kami mengatakan bahwa kedua hadits tersebut tidak tepat untuk digunakan di sini. Karena di dalamnya tidak terdapat penunjukkan yang mengarah pada bolehnya pemanfaatan najis. Maka kami tidak ambil pusing terhadap bantahan yang didasarkan atas kedua hadits tersebut dalam masalah ini.

Sekarang tinggal hadits yang pertama, yaitu yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dan selain beliau dari jalur Jaabir. Hadits tersebut bukan merupakan bukti tentang bolehnya mengambil manfaat dari najis, justru sebaliknya. Hadits tersebut mengatakan << “Sesungguhnya Allah dan rasulNya mengharamkan jual-beli khomr, bangkai. babi, dan berhala. maka dikatakan “wahai rasulallaah, bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, karena dia dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit, dan dijadikan penerangan oleh orang-orang? Beliau menjawab: “tidak boleh, dia (huwa) haram” >>. Mereka memperhatikan hadits tersebut kemudian saling bertanya : apakah kata ganti orang ketiga (dia/huwa) dalam sabda beliau “dia haram” kembali kepada jual-beli (sesungguhnya Allah dan rasulnya mengahramkan jual-beli..) atau kembali kepada pemamanfaatan (untuk mengecat, meminyaki, penerangan)? Maka mereka berkata : secara dhohir kata ganti itu kembali kepada jual-beli, karena sesungguhnya dia merupakan objek yang disebutkan secara jelas dalam perkataan tersebut. Dan perkataan beliau pada akhir hadits terbatas padanya (yaitu memperjual-belikan najis). Dan orang yang berpendapat bahwa kata ganti itu kembali kepada jual-beli mengatakan bahwa mengambil manfaat dari najis itu dibolehkan secara mutlak, yang diharamkan hanya memperjual-belikannya. Mereka juga berdalil dengan adanya ijma’ tentang kebolehan memberi makan anjing dengan daging bangkai. Maka mereka berkata: Diharamkan untuk jual beli dibolehkan pengambilan manfaat dari lemak bangkai dan dibolehkan pula mengoleskan hal yang terkena najis pada segala sesuatu, kecuali pada makanan manusia atau untuk dioleskan pada tubuhnya. Maka dalam kedua hal tersebut diharamkan sebagaimana haramnya memakan bangkai dan mengotori (badan) dengan suatu najis. Demikianlah cara mereka dalam berdalil dan mendatangkan bukti. Akan tetapi penelaahan terhadap nash menunjukkan secara jelas kesalahan pendalilan itu karena hal-hal berikut:

Bahwa kata ganti dalam bahasa itu seharusnya kembali kepada ism (kata benda) yang paling dekat dengannya, dan bukan kembali kepada yang paling jauh. Dan yang paling dekat di sini adalah lafadz-lafadz yang memberi arti “pengambilan manfaat” (digunakan untuk mengecat, digunakan untuk menggosok, menerangi) dan bukan pada lafadz “jual-beli” yang merupakan kata paling jauh dengan huwa dalam nash tersebut.

Sesungguhnya pendapat mereka bahwa kata ganti itu kembali kepada jual-beli, dengan alasan karena ia merupakan satu-satunya hal yang disebut secara jelas, merupakan perkataan yang tidak akurat. Karena sesungguhnya kata lemak bangkai dan perbuatan-perbuatan yang terkait dengannya juga disebut secara jelas dalam hadits itu.

Sandainya kami menafsirkan hadits tersebut dengan membolehkan pengembalian dhomir kepada jual-beli maka itu sama sekali bukanlah pengertian terbaik yang bisa dipahami dari perkataan tersebut. Karena sesungguhnya hukum lemak bangkai mengikuti hukum keharaman bangkai dalam hal memperjual-belikannya, karena lamak merupakan bagian dari bangkai. Jika kita menafsirkannya dengan mengembalikan dhomir kepada lemak, maka akan didapat makna baru. (Menetapkan) tambahan tersebut lebih utama dari pada menghilangkannya. (maksudnya, jika dhomir huwa itu dikembalikan kepada jual-beli, maka pertanyaan shohabat tentang lemak bangkai itu tidak ada manfaatnya, dan jawaban rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam -laa, huwa haraam- itu tidak menambah apa-apa. Sebab keharaman memperjual-belikan lemak bangkai itu sudah otomatis dipahami dari pernyataan tentang keharaman jual-beli bangkai, karena lemak merupakan bagian dari bangkai. Sehingga hal itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Jika demikian, yang ditanyakan shohabat tentu saja bukan hukum menjual lemak bangkai, karena itu sudah jelas. Tapi yang ditanyakan adalah hukum pemanfaatannya sebagai campuran cat, penggosok kulit, dan bahan bakar lampu. Dan jawaban rasulullah itu diberikan untuk menjelaskan hukum pemanfaatan lemak bangkai, bukan hukum menjual-belikannya. Dengan demikian, huwa di akhir hadits itu harus dikembalikan kepada mengecat, menggosok, dan mengisi lampu dengan lemak bangkai -pent).

Sesungguhnya (pengertian) bagian awal dari hadits tersebut telah sempurna dengan sendirinya (sesungguhnya Allah dan rasulnya megharamkan jual-beli khomr, bangkai, dan berhala). Dan kalimat itu tidak membutuhkan keterangan tambahan lagi. Seandainya rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak ditanya mengenai lemak bangkai, maka hadits itu hanya akan berakhir pada kata “berhala” saja. Tapi ketika beliau ditanya mengenai lemak bangkai yang digunakan untuk ini dan itu, atau dimanfaatkan untuk ini dan itu, maka beliau berkata “jangan, itu/dia haram”, dan kata ganti “dia” terlalu jauh untuk dikembalikan kepada kata jual-beli. Karena dalam hadits tersebut ada dua kalimat sempurna yang masing-masing berdiri sendiri. Kalimat “sesungguhnya Allah dan rasulNya mengharamkan jual-beli” menerangkan haramnya memperjual-belikan empat hal yang disebutkan di bagian pertama. Sedang kalimat “jangan, dia haram” memberi pengertian pada pengharaman mengecat, menggosok, dan penerangan dengan menggunakan lemak bangkai. Demikianlah pemahaman hadits yang seharusnya. Dan demikianlah pemahaman orang yang mengambil (pendapat) dengan dhohirnya, dan meninggalkan pembahasan yang berbelit-belit dan keruh. Oleh karena itu tampaklah kesalahan pandangan yang menyatakan tentang bolehnya mengambil manfaat dari najis.
Ada pun apa yang mereka katakan tentang bolehnya memberikan bangkai kepada anjing, maka dia tidak termasuk dalam bab mengambil manfaat dari benda-benda najis yang sedang kita bahas ini. Karena anjing adalah binatang najis dan memberinya makan dengan barang najis adalah masalah khusus. Karena hal itu hanyalah perbuatan memberikan najis kepada sesuatu yang najis, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Adapun apabila pemberian bangkai itu tertuju pada hewan yang suci, atau digunakan untuk sesuatu yang suci, maka hal itu tidak dibolehkan. Sungguh telah datang larangan untuk menunggangi al Jallaalah (binatang pemakan kotoran), memakan dagingnya, dan meminum susunya. Datangnya larangan itu semata-mata karena binatang tersebut suka memakan kotoran-kotoran yang najis. Dari Ibnu Abbas beliau berkata “rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang susu dari damba jallaalah (pemakan kotoran), …“, diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasa’i Abu Dawud, dan Tirmidzi. Dan Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, berkata:<< “rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam melarang (untuk memakan) daging keledai jinak dan binatang pemakan kotoran, (melarang pula untuk) menaikinya dan meminum susunya“>>, diriwayatkan oleh Ahmad dan An Nasai. Apa bila ada unta, sapi, domba, dan ayam yang makanannya berasal dari benda-benda najis, maka yang dilarang bagi kita bukan hanya memakan dagingnya, tapi juga menungganginya. Perhatikanlah riwayat-riwayat mengenai pemanfaatan benda najis terhadap sesuatu yang suci. Dan dimakruhkannya memakan hewan pemakan kotoran sampai ia diberi makan dengan makanan yang suci dalam beberapa lama sehingga cukup untuk membersihkan najis yang telah dimakannya.
Wallahu a'lam bishshowab.

Tidak ada komentar: