Rabu, 08 Oktober 2008

Zakat Harus Disalurkan Sesuai Ketentuan Syara’ (tanggapan atas tulisan)

Menarik apa yang dikemukakan oleh Moh. Arifin Purwakananta, Direktur Program Dompet Dhuafa, Ketua Presidium Gerakan Zakat untuk Indonesia, dalam tulisannya di detik Ramadhan (baca : Zakat Tidak Untuk Disalurkan) yang dipublish Sabtu, 27/09/2008 10:48 WIB.
Namun paradigma beliau dalam artikel itu tidak saya sepakati. Apalagi judul artikel tersebut.

Dewasa ini sebahagian orang memang tidak lagi menganggap zakat sebagai sebuah ibadah yang mahdhah (murni). Anggapan seperti ini justru menggeser nilai zakat tidak lagi sejajar dengan ibadah sholat, shaum, haji, berdoa, dll. Padahal Para ulama telah mengklasifikasikan zakat sebagai bagian dari ibadah mahdhah. Sebagaimana ibadah yang lain, seperti shalat misalnya, zakat juga mempunyai ketentuan khusus; baik menyangkut wajib zakat (muzakki), yang berhak menerima (mustahiq), pemungut (‘âmil), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, waktu pelaksanaannya, hingga kadar dan ukurannya. Karena itu, hukum-hukum ibadah itu bersifat tawqîfiyyah, menjadi otoritas penuh Allah.

Dalam ibadah tidak ada ‘illat (alasan hukum); misalnya, mengapa zakat fitrah itu—menurut sebagian mazhab—hanya boleh dibayar dengan jenis makanan tertentu dan tidak boleh digantikan dengan yang lain; mengapa zakat mal hanya diwajibkan atas harta tertentu, seperti hewan ternak, yaitu unta, lembu dan kambing, atau tanaman seperti sya'îr (gandum), khinthah, tamr (kurma kering), dan zabîb (anggur yang dikeringkan), atau mata uang, yaitu emas dan perak, ataupun harta perniagaan; mengapa zakat fitrah harus ditunaikan setiap tahun di bulan Ramadhan; mengapa zakat mal selain tanaman dikeluarkan setiap setahun sekali, sedangkan tanaman setiap panen, ketika masing-masing telah mencapai nishâb? Semua ini tawqîfiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah, tidak disertai ‘illat (alasan hukum) dan ma‘lûl (efek hukum).

Karena itu, persoalan zakat adalah persoalan yang sepenuhnya harus dikembalikan kepada Allah, yang berarti harus merujuk pada dalil syariat, atau harus manshûs (dinyatakan di dalam nash).

Pandangan seperti Moh. Arifin Purwakananta yang menyatakan pengelolaan dana zakat haruslah produktif, dengan kata lain, paradigma zakat harus diubah, dari paradigma konsumtif, menjadi produktif umumnya digagas oleh para praktisi dan aktivis Muslim yang berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi perekonomian umat Islam dewasa ini. Mereka mungkin berfikir jika dana tersebut dikelola secara produktif, misalnya diinvestasikan atau dikembangkan melalui usaha bisnis tertentu, tentu bisa dikembangkan dan akan menjadi sumber dana yang luar biasa sehingga bisa digunakan untuk menyelesaikan problem kemiskinan yang melilit umat Islam!

Pengelolaan (tasharruf) zakat seperti ini sebenarnya tidak dibangun sedikitpun berdasarkan nash syariat, baik al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, maupun Qiyas; tetapi murni menggunakan logika maslahat. Logika maslahat—yang notabene adalah logika akal—jelas tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Apalagi logika tersebut dibangun berdasarkan pemahaman yang salah terhadap problem kemiskinan yang menimpa umat Islam saat ini, yang seolah-olah dianggap sebagai problem individual semata. Padahal persoalan kemiskinan umat Islam atau rakyat sebuah negara adalah problem yang tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan di negara tersebut. Penyebabnya adalah Kapitalisme dan Sosialisme.

Mengapa pengelolaan zakat tidak menyelesaikan masalah kemiskinan? Alasannya adalah :
Pertama, Mustahik zakat telah ditentukan golongannya. Dan fakir miskin hanyalah sebagian dari golongan orang yang berhak mendapatkan harta zakat. Masih ada 6 golongan lain yang berhak menndapatkan harta zakat. (Q.S. At-Taubah : 60)
Kedua, meskipun fakir miskin ini sudah tidak ada lagi, zakat tetap harus dikeluarkan (dipungut) dari harta para mustahik (ingat riwayat amil zakat zaman khalifah Umar bin Abd Aziz yang mengembalikan harta zakat karena sudah tidak ada lagi mustahik di suatu wilayah)
Ketiga, Islam mempunyai metode tersendiri untuk menyelesaikan masalah kemiskinan. Bukan dengan zakat semata-mata, melainkan dengan menerapkan syariah Islam yang termasuk didalamnya sistem ekonomi islam, yang diantaranya menjamin terpenuhinya kebutuhan mendasar warga negara, menjamin distribusi harta, melarang riba serta mengatur kepemilikan sesuai dengan haknya (individu, umum, dan negara). Disamping itu zakat merupakan ibadah yang masuk dalam konteks individu, sedangkan kemiskinan lebih merupakan akibat dari sistem yang berlaku (sistemik).

Penuntasan kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya semata-mata dengan dana zakat, meskipun dengan cara memproduktifkannya. Masalah seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dsb adalah tanggung jawab penguasa yang untuk memenuhinya bukan diambil dari harta zakat tetapi dari penghasilan lain negara. Dalam literatur Islam dananya diambil dari baitul maal non-zakat.

Namun paradigma seperti ini hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam, bukan sistem kapitalis seperti yang diterapkan saat ini, ataupun sosialis. Jadi upaya untuk menghadirkan kembali sistem islam sekaligus merupakan upaya menuntaskan kemiskinan dan masalah-masalah lain sesuai petunjuk Allah dan sunnah rasulNya.
Jadi, seharusnya Zakat Harus Disalurkan Sesuai Ketentuan Syara’

Tips Memaafkan dan Melupakan

Meski memaafkan secara tulus tak mudah, namun beberapa cara di bawah ini patut dicoba:

  • Bayangkan kembali peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati secara lebih obyektif tanpa merasa menjadi korban dari perilaku orang yang Anda cintai. Coba berempati dengan membayangkan sudut pandang orang yang telah menyakiti Anda, misalnya bisa saja karena tersudut maka ia mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti Anda.
  • Pikirkan kesalahan-kesalahan yang pernah Anda lakukan dan ingat-ingat bagaimana perasaan Anda ketika Anda dimaafkan oleh orang lain akibat kesalahan tersebut.
  • Ketika sudah memutuskan untuk memaafkan, cobalah membuat komitmen dengan pernyataan Anda tersebut.
  • Jangan mengungkit kembali kesalahan orang yang Anda cintai, terutama jika mereka menunjukkan sikap yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki diri

Memaafkan dan Melupakan, Bisakah?

Memaafkan bukan hal mudah untuk dilakukan. Apalagi jika peristiwa yang menyakitkan hati didalangi orang terdekat yang sangat kita cintai.
Rasanya lebih mudah memaafkan seorang musuh bebuyutan dibandingkan memaafkan orang tercinta, namun mengkhianati. Kesalahan yang dilakukan orang tercinta umumnya melibatkan lebih banyak emosi, merusak kepercayaan, dan menghancurkan mimpi-mimpi yang telah dibangun bersama.

Ambillah maaf dan suruhlah yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang jahil.
[QS [7] Al-A'raf : 199]

Tulus memaafkan rasanya mustahil. “Saya sudah memaafkan,” begitu selalu kata-kata terucap. Tapi kerap berbagai peristiwa menyakitkan yang terjadi muncul kembali dalam ingatan mengembalikan kemarahan. Padahal menyimpan rasa sakit hati dan dendam tak hanya menghindari penyelesaian masalah, namun juga menimbun kemarahan dan menghasilkan stres yang berkepanjangan, serta memerangkap diri dalam kepahitan yang tak berkesudahan.

Hal ini terbukti dalam sebuah penelitian yang dipimpin Everett Worthington, Ph D, profesor dan kepala departemen Psikologi di Virginia Commonwealth University yang menjadi executive director dari sebuah kampanye penelitian khusus Forgiveness yang dimuat di majalah Newsweek tahun lalu. Penelitian melibatkan 20 orang yang memiliki hubungan yang menyenangkan dengan pasangan dibandingkan dengan 20 orang yang memiliki masalah dalam hubungan dengan pasangan. Ternyata 20 orang terakhir memiliki kadar hormon kortisol atau hormon yang berhubungan dengan masalah ketahanan tubuh lebih tinggi. Kemarahan dan dendam juga menimbulkan konsekuensi pada tubuh, antara lain meningkatnya tekanan darah, perubahan hormon yang berhubungan dengan masalah-masalah jantung, serta ketahanan tubuh dan masalah di fungsi syaraf serta kemampuan mengingat. Ini menunjukkan bahwa rasa marah dan sakit hati dapat merugikan orang itu sendiri secara fisik dan emosi.

Padahal memaafkan secara tulus berarti berani melepas berbagai perasaan negatif, seperti kemarahan dan rasa sakit yang selama ini membebani untuk dapat melangkah maju. Orang yang masih menyimpan berbagai perasaan tersebut berarti membiarkan diri untuk terperangkap di masa lalu karena enggan melangkah ke masa kini untuk dapat menghadapi masa depan. Meski memang sulit, namun dengan niat, maka semua dapat diupayakan.

Seperti contoh ayat al-A’râf di atas terdapat pesan; “Hai Nabi Muhammad Saw, ambillah maaf,” atau dapat diartikan sebagai jadilah pemaaf. Maaf, yang diterjemahkan dari bahasa Arab berarti al-‘afwu dalam hal ini bermakna sebagai meninggalkan sesuatu dan memintanya, atau juga berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah [memaafkan]. Kata ini juga berarti habis tiada berbekas. Sehingga memaafkan berarti; luka yang terdapat di hati diobati dan kemarahan serta kejengkelan akibat perlakuan buruk dihapus sehingga tidak berbekas. Bahkan Nabi Saw pun dipesankan agar dapat memaafkan seseorang hingga terhapus tak berbekas, yang merupakan buah dari akhlak mulia dan budi pekerti luhur di dalam Islam. [sumber:alifmagz]

Rabu, 24 September 2008

Ketupat Lebaran

Ketupat selalu identik dengan yang namanya Lebaran. Tetapi sebenarnya apa sih yang membuat Ketupat menjadi tradisi yang selalu ada waktu Lebaran?

Filosofi Ketupat

Pertanyaan yang ada sekarang, kenapa menggunakan Ketupat? Bagi masyarakat Jawa, Ketupat memiliki arti tersendiri, selain dari nama dan bentuk, proses pembuatan Ketupat sendiri memiliki makna dan arti dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Mulai dari nama ...

Ketupat dalam bahasa jawa biasa disebut kupat, dalam salah satu website, disebutkan bahwa adanya tradisi makan Ketupat di luar (setelah) hari Lebaran, yang biasanya dinamakan dengan hari Raya Ketupat, disebut sebagai tradisi Kupat Luar. Kupat ini berasal dari kata Pat atau Lepat (kesalahan) dan "Luar" yang berarti di luar, atau terbebas atau terlepas, dengan harapan bahwa orang yang memakan Ketupat akan kembali diingatkan bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari kesalahan, sehingga masyarakat diharapkan akan saling memaafkan dan saling melebur dosa dengan simbolisasi tradisi kupat luar.
Di salah satu sumber lain, Ketupat berasal dari kerotoboso (atau bahasa singkatan) dari kata Ngaku Lepat yang berarti mengakui kesalahan. Tradisi Ketupat diharapkan akan membuat kita mau mengakui kesalahan kita sehingga membantu kita untuk memaafkan kesalahan orang lain juga. Sehingga, dosa yang ada akan saling terlebur.

Bentuknya ...

Pada umumnya, dikenal dua bentuk Ketupat, dan bentuk yang paling sering dikenal adalah bentuk Ketupat yang seperti pelajaran di SD dulu yaitu belah ketupat! Bentuk persegi seperti ini dapat diartikan di masyarakat Jawa sebagai perwujudan dari kiblat papat lima pancer, dengan berbagi penjelasan dan berbagai cara memandang. Ada yang memaknai kiblat papat lima pancer ini sebagai keseimbangan alam: 4 arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara. Akan tetapi semua arah ini bertumpu pada satu pusat. Bila salah satunya hilang, keseimbangan alam akan hilang. Begitu pula hendaknya manusia, dalam kehidupannya, ke arah manapun dia pergi, hendaknya jangan pernah melupakan pancer: Tuhan yang Maha Esa.

Kiblat papat lima pancer ini dapat juga diartikan sebagai 4 macam nafsu manusia dalam tradisi jawa: amarah, aluamah, supiah, dan mutmainah. Amarah adalah nafsu emosional, aluamah adalah nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah atau bagus, dan mutmainah adalah nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini adalah empat hal yang kita taklukkan selama berpuasa, jadi dengan memakan Ketupat, disimbolkan bahwa kita sudah mampu melawan dan menaklukkan hal ini.

Bahan pembuatnya ...

Ketupat merupakan makanan dengan isi beras, berselongsong janur atau daun kelapa yang berwarna agak kekuningan. Salah satu cara mematangkan Ketupat adalah dengan merebusnya dalam santan, atau, jika Ketupat direbus dalam air biasa, akan dihidangkan bersama makanan bersantan
1. Janur kuning.
Janur kuning ini adalah lambang penolakan bala. Di Kraton Surakarta, ada salah satu aksesoris wajib yang harus dikenakan, dan berbentuk kain panjang berwarna kuning. Kain ini disebut samir. Samir ini merupakan penolak bala, nah, Janur kuning adalah simbol dari samir tersebut.
2. Beras.
Sebagai simbol kemakmuran, beras dianggap sebagai doa agar kita semua diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya.
3. Santan.
Santan, atau dalam bahasa jawa santen, berima dengan kata ngapunten yang berarti memohon maaf. Salah satu pantun yang terkenal yang menyebut keberadaan Ketupat dan santan adalah:
Mangan kupat nganggo santen.
Menawi lepat, nyuwun pangapunten.
(Makan Ketupat pakai santan.
Bila ada kesalahan mohon dimaafkan.)
Tradisi pembuatannya ...

Ketupat dimulai dengan pembuatan selongsongnya. Selongsong ini dibuat biasanya mendekati lebaran, dan dibuat beramai-ramai, biasanya oleh para wanita dengan jari-jari yang terampil dan cekatan. Pembuatan yang beramai-ramai ini memeriahkan datangnya lebaran, dan menunjukkan keakraban di antara penduduk pada saat itu. Hal inilah yang membuat keberadaan Ketupat, selain sebagai makanan khas, juga sebagai pengikat antar penduduk karena adanya interaksi sosial antar penduduk yang ada.

Selasa, 09 September 2008

Berbuka Tanpa Balas Dendam

Bulan puasa cenderung akrab dengan menu-menu "luar biasa" yang tak ada di hari-hari biasa. Sebut saja kolak pisang, es sirup, kue-kue manis, dan lainnya. Padahal, di sisi lain banyak orang berharap berat badannya bisa turun beberapa kilo setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.
Sayangnya, banyak orang tak sadar mereka justru gagal menurunkan berat badan karena karena “balas dendam” saat berbuka puasa atau Lebaran. Nah, agar tubuh tetap ramping dan ideal setelah bulan puasa lewat, dr. Titi Sekarindah, M.S., Sp.GK, ahli gizi RS Pertamina, Jakarta memberikan beberapa kiatnya.
1. Saat mulai berpuasa, sebaiknya Anda memantapkan diri, di bulan suci ini Anda akan memulai program penurunan berat badan. Percaya atau tidak, dengan berpuasa jadwal makan Anda akan lebih teratur.
2. Pastikan Anda memiliki dua kali jadwal makan besar, dan sisanya hanya untuk selingan saja.
3. Bila berbuka sebaiknya memilih makanan yang tidak terlalu banyak konsumsi gulanya. Bisa berupa potong buah-buahan, kolak dengan sedikit kuahnya, atau sepotong kue manis saja.
4. Usahakan, jangan makan malam terlalu larut. Makan malamlah segera setelah berbuka dan salat maghrib. Jika makan terlalu malam, akan merusak selera saat sahur. Dan bila makan sahurnya kurang, esok harinya tentu Anda akan merasa lapar sekali sehingga saat berbuka biasanya akan makan lebih banyak.
5. Batasi konsumsi gorengan. Paling tidak, cukup satu saja menu gorengan dalam sehari dan perbanyak mengolahnya dengan cara dipanggang, rebus, ungkep, atau pepes.
6. Konsumsi sayur yang bening-bening saja. Sebisa mungkin kurangi penggunakan santan dalam memasak.
7. Tetap konsumsi 8 gelas air sehari agar tidak dehidrasi dan lemas. 3 gelas saat sahur (1 gelas begitu bangun, 1 gelas saat makan, dan 1 gelas saat mendekati imsak). Dan 5 gelas di antara berbuka hingga menjelang sahur.
8. Konsumsi susu non-fat saat sahur dan saat selingan malam. Agar kebugaran tubuh tetap terjaga.

Poligami Bikin Pria Panjang Umur?

Ingin hidup berumur panjang?
Cobalah untuk memiliki istri kedua, atau bahkan lebih.

Anjuran ini sepertinya mengada-ada, tetapi bisa jadi ada benarnya apabila menyimak hasil kesimpulan sebuah riset yang dilakukan ahli ekologi Inggris, Virpi Lummaa. Ilmuwan dari Universitas Sheffield itu belum lama ini mempresentasikan temuannya tentang hubungan poligami dan umur panjang dalam pertemuan tahunan International Society for Behavioral Ecology’di Ithaca, New York, Amerika Serikat.


Menurut hasil riset Lummaa yang juga dimuat majalah New Scientist, pria yang menganut poligami rata-rata memiliki usia lebih panjang di bandingkan mereka yang hanya beristri satu. Kesimpilan ini diambil setelah memperhitungkan beragam faktor seperti perbedaan status sosial ekonomi.


Riset menunjukkan, pria berusia di atas 60 tahun di 140 negara penganut poligami dengan derajat kehidupan bervariasi tercatat berusia 12 persen lebih panjang di bandingkan para pria yang tinggal di 49 negara yang dikenal kuat menganut monogami.


Lummaa menjelaskan, pria yang menjalani poligami bisa lebih panjang usianya kemungkinan karena faktor sosial dan genetika. Pria yang terus berjuang menghidupi anak-anak dan istrinya walau sudah memasuki usia 60 atau 70-an kemungkinan lebih baik dalam menjaga kebugaran dan kesehatannya.


Ini pun tidak terlepas dari tekad dan tanggung jawabnya untuk menafkahi anak-anak dan istiri-istrinya. Namun begitu, lanjut Lummaa, kekuatan evolusi yang terjadi selama ribuan tahun juga patut diperhitungkan sebagai penyebab panjangnya usia pria yang hidup dengan budaya poligami.


Dalam risetnya, Lummaa menggunakan data Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization). Ia bersama rekannya, Andy Russell, meneliti para pria di atas 60 tahun yang tinggal di 189 negara dan mengelompokkannya dalam empat skala yakni dari tingkat 1 untuk kategori sangat monogami hingga paling poligami untuk skala 4. Ia juga memperhitungkan produk domestik bruto setiap negara dan rata-rata pendapatannya guna meminimalisir pengaruh faktor kualitas nutrisi dan pelayanan kesehatan di negara-negara Barat yang menganut monogami.

Senin, 08 September 2008

Jangan Berbuka dengan Yang Manis

Pernah dengar kalimat `Berbuka puasalah dengan makanan atau minuman yang manis,’? Konon, itu dicontohkan Rasulullah saw. Benarkah demikian?


Dari Anas bin Malik ia berkata : “Adalah Rasulullah berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air." (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Nabi Muhammad Saw berkata : “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.”

Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat kurma, beliau berbuka puasa dengan air. Samakah kurma dengan `yang manis-manis’ ? Tidak. Kurma, adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate).

Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).

Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang manis? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis adalah ’sunnah Nabi’. Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan.

Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis. Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan (data di sini dan di sini). Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa `manisan kurma’, bukan lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan ekspornya. Sangat jarang kita menemukan kurma impor yang masih asli dan belum berupa manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin harganya menjadi sangat mahal.

Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak kesehatan?
Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu. Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan.

Mari kita bicara `indeks glikemik’ (glycemic index/GI) saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin cepat pula menghasilkan respons insulin.

Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat, akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks glikemiknya rendah.

Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak. Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari mereka.

Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks glikemiknya) , sehingga respon insulin dalam tubuh langsung melonjak. Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak.

Seorang sufi yang diberi Allah `ilm tentang urusan kesehatan jasad manusia mengatakan, bila berbuka puasa, jangan makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan dan bikin penyakit. Kenapa bukan kurma? Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia adalah `manisan kurma’, bukan kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya.

Kenapa nasi? Nasi adalah karbohidrat kompleks. Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh untuk menabung lemak juga rendah.

Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena puasa.

Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin terlihat seperti `buah pir’, penuh lemak di daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka dengan yang manis- manis adalah ’sunnah’, maka puasa bukannya malah menyehatkan kita. Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula. Karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya `rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.’

Jadi, “berbukalah dengan yang manis-manis” itu adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa atas hadits tentang berbuka diatas. Karena kurma rasanya manis, maka muncul anggapan bahwa (disunahkan) berbuka harus dengan yang manis-manis. Pada akhirnya kesimpulan ini menjadi waham dan memunculkan budaya berbuka puasa yang keliru di tengah masyarakat. Yang jelas, `berbukalah dengan yang manis’ itu disosialisasikan oleh slogan advertising banyak sekali perusahaan makanan di bulan suci Ramadhan.

Semoga tidak termakan waham umum `berbukalah dengan yang manis’. Atau lebih baik lagi, jangan mudah termakan waham umum tentang agama. Periksa dulu kebenarannya.

Tidak ada satu wadah pun yang diisi oleh Bani Adam, lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari, cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang bersumber dari Miqdam bin Ma’di Kasib)

So, masih mau makan yang manis-manis?!! [dari tulisan Herry Mardian, Yayasan Paramartha]

Selasa, 02 September 2008

Puasa = Bau Mulut?

Ada satu kondisi yang sering kali ditemui saat berpuasa, yakni bau mulut. Kondisi yang acap dipandang menganggu karena bisa membuat kepercayaan diri menurun itu memiliki nama ilmiah halitosis. Penyebab bau mulut sebenarnya sebagian besar berasal dari rongga mulut itu sendiri karena di dalamnya terdapat sejumlah gigi geligi, lidah, dan mukosa mulut lainnya.

Apabila kita tidak menjaganya, akan timbul kerusakan yang dapat mencetuskan kondisi bau mulut. Bau mulut dapat juga terjadi karena berkurangnya air liur sehingga timbul napas yang kurang sedap. Allah telah memberikan tubuh kepada kita dengan sedemikian sempurnanya. Untuk itu, kita harus selalu menjaganya agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.


Seperti kita ketahui tubuh kita ini merupakan satu kesatuan berbagai organ dan sistem tubuh yang terdiri dari mata, jantung, rongga mulut, dan organ lainnya. Rongga mulut adalah bagian dari tubuh yang memiliki peranan sangat penting karena di sanalah pintu pertama masuknya makanan yang akan dicerna oleh tubuh kita agar kita dapat beraktivitas dan melangsungkan hidup dengan baik. Kesehatan rongga mulut ini dapat dikatakan sebagai miniatur kesehatan seluruh tubuh kita. Terlebih pada saat berpuasa kesehatan rongga mulut jangan terlewatkan untuk dijaga.


Bau mulut merupakan kondisi yang dimiliki oleh setiap individu, namun derajatnya berbeda-beda dari yang tidak mengganggu sampai yang sangat mengganggu orang lain. Pada kondisi yang sudah sangat mengganggu itulah perlu dicari jalan keluarnya karena dapat mengganggu kegiatan kita dalam berkomunikasi dan beraktivitas.


Bau ini timbul karena senyawa volatile sulfur compound yang diproduksi oleh bakteri anaerob yang banyak berdiam pada gigi atau mukosa mulut yang rusak, seperti pada gigi geligi yang berlubang, sisa-sisa akar, karang gigi, peradangan gusi, nanah pada gusi atau mukosa mulut lainnya, tambalan yang sudah rusak dan tidak diperbaiki, berkurangnya air liur. Bau mulut juga bisa akibat seseorang menderita penyakit tertentu misalnya diabetes mellitus yakni terjadi pengurangan pasokan oksigen ke dalam mulut dan dapat menyebabkan perkembangbiakan kuman anaerob menjadi lebih banyak.


Apabila tidak segera dirawat dan kondisinya semakin parah tidak hanya bau mulut yang timbul, tetapi dapat menyebabkan kelainan pada bagian tubuh lain seperti pada organ mata, jantung, hidung, telinga, dan organ lainya. Kita dituntut cermat dalam mengetahui keadaan di rongga mulut kita dan segeralah mendapatkan perawatan apabila terdapat kerusakan atau kondisi yang tidak baik di dalam mulut.



Pencegahan


Kondisi bau mulut yang disebabkan kerusakan bagian-bagian rongga mulut ini akan bertambah buruk pada saat berpuasa disebabkan air liur banyak berkurang jumlahnya. Komponen-komponen yang terdapat dalam air liur turut menjaga kesehatan rongga mulut dan secara otomatis dapat mengurangi bau mulut.


Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat berpuasa untuk mengurangi dan mencegah bau mulut.
  • Agar gigi tetap terjaga kebersihannya, kegiatan menggosok gigi harus tetap dilakukan. Gosoklah gigi minimal sehari dua kali, yakni saat setelah sahur dan sebelum tidur pada malam hari.

  • Jangan lupa untuk menggosok lidah karena lidah terdiri dari papila-papila yang dapat menjadi tempat menempelnya makanan. Papila-papila itu merupakan rumah yang nyaman untuk perkembangbiakan bakteri-bakteri penyebab bau mulut.

  • Kumur-kumur setiap berwudu juga membantu mengurangi bau mulut karena air liur menjadi tidak terlalu pekat dan dirangsang peningkatan jumlahnya. Oleh karena itu pula, banyaklah minum air putih saat berbuka puasa, serta banyaklah mengonsumsi buah-buahan seperti jeruk, tomat, air kelapa, belimbing, dll.

  • Tindakan membersihkan karang gigi juga perlu dilakukan. Pembersihan karang gigi ini dapat banyak membantu mengurangi bau mulut karena bakteri anaerob penghasil senyawa yang berbau tidak sedap banyak tinggal di bagian yang banyak karang giginya. Semakin sempit ruang hidup bagi bakteri anaerob, semakin segar napas mulut kita.

  • Selain itu, segera tambal gigi geligi yang berlubang, juga perbaiki tambalan yang sudah rusak. Mintalah ke dokter gigi Anda untuk membuang sisa-sisa akar gigi yang masih ada karena sisa akar juga merupakan tempat yang nyaman untuk ditinggali bakteri anaerob.

  • Apabila Anda menggunakan gigi tiruan (palsu), jangan lupa untuk selalu membersihkannya.

  • Sebagai tindakan pencegahan, rajinlah memeriksakan diri ke dokter gigi minimal 6 bulan sekali. Upaya pencegahan ini akan sangat membantu dalam mendeteksi kerusakan yang terdapat di dalam rongga mulut lebih dini sebelum berkembang menjadi kerusakan yang lebih parah dan membutuhkan penanganan yang lebih sulit.

  • Lalu yang tak kalah penting, hindari kebiasaan merokok karena kandungan-kandungan dalam setiap batang rokok dapat memperburuk kondisi kesehatan mulut dan menyebabkan berkurangnya air liur.
Dengan menjalankan pola hidup sehat dan menjaga apa yang telah Allah SWT berikan, insya Allah kondisi tubuh kita akan tetap terjaga dengan baik. Semoga tips ini dapat bermanfaat dan membantu kita semua dalam menjalankan ibadah Puasa. Semoga ibadah Puasa kita diterima oleh Allah SWT. [drg. E. Fitriana Sari, dokter gigi di Poliklinik Daarut Tauhiid Bandung]

Puasa Zonder Lemas

Bulan puasa bagi sebagian orang akan sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya, terutama yang menjalankan ibadah puasa. Aktifitas yang banyak dan waktu tidur yang dikurangi mungkin menyebabkan sebagian orang menjadi lemas dan tidak bergairah. Bagaimana mengatasinya? Berikut tipsnya :
1. Makan sehat. Makanlah dengan menu seimbang, lengkap dengan karbohirat, lemak yang baik, protein, vitamin, minenal, dan serat. Perbanyak makan buah dan sayur.
2. Ada yang perlu dihindari. Hindari makanan mengandung gula tinggi, gorengan, dan kuning telur karena mengandung lemak buruk. Udang, cumi-cumi, kerang, kepiting, jeroan, otak, dan hati yang mengandung kolesterol tinggi, daging merah lebih baik dihindari. Perbanyak makan ikan dan daging ayam tanpa kulit.
3. Porsi cukup. Jangan "lapar mata" melihat banyak jajanan menjelang buka puasa. Atau "balas dendam" dengan terlalu banyak makan saat berbuka. Puasa artinya menahan diri dari segala nafsu.
4. Untuk diet. Idealnya, usai berpuasa berat akan turun 1-2 kg. Minimal, bagi pemilik berat badan ideal akan sama berat badannya. Bahkan bagi yang kegemukan, usai berpuasa seharusnya bisa turun hingga 3 kg.
5. Tetap olahraga. Lakukan olahraga ringan yang sifatnya maintenance, 1-1,5 jam menjelang berbuka puasa selama maksimal 30 menit saja.
6. Diteruskan. Fungsi puasa sebagai detoks akan lebih afdol jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, puasa seminggu satu atau dua kali.
[Intan Y. Septiani/kompas]

Kamis, 28 Agustus 2008

Do'a Jibril

Do'a malaikat Jibril menjelang Ramadhan "Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: * Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); * Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami isteri; * Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya”. Maka Rasulullah pun mengatakan Amiin sebanyak 3 kali.
Dapatkah kita bayangkan, yang berdo'a adalah Malaikat dan yang meng-amiinkan adalah Rasullullah dan para sahabat , dan dilakukan pada hari Jum'at.

Oleh itu SAYA TERLEBIH DAHULU MEMOHON MAAF jika saya berbuat kesalahan, baik yang tidak di sengaja maupun yang disengaja. Semoga Ramadhan kali ini bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya.
Kullu aamin wa antum bikhairin. Amin...

Pensyari'atan Puasa

Secara awam, ada sebuah pertanyaan yang sifatnya umum; sejak kapan pastinya bulan Ramadhan itu ada, dan sejak kapan pastinya puasa Ramadhan disyari’atkan, sehingga kedua perkataan itu mengaitkan syari’at dengan inti ma’nanya sebagai “panas, kering atau haus”? Dan sejak kapan puasa diberlakukan kepada umat manusia? Bagaimana pula dengan puasa-puasa terdahulu yang dilakukan tidak di bulan Ramadhan?

Di dalam ayat Al-Qur’an, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 183 – 184,
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu . . .”

Ayat ini turun tanpa sebab tertentu, sebagaimana terjadi pada kebanyakan ayat-ayat ahkam –ayat yang berkenaan dengan hukum–, yang turun setelah ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi pada Nabi Muhammad saw atau para shahabat.

Kandungan ayat-ayat dalam surah Al-Baqarah ini adalah surah yang turun ketika Nabi Muhammad saw di Madinah (Madani) sebagai disebutkan sebuah informasi yang menyatakan “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”.

Pemahaman dari ayat ini di antaranya ada dua persoalan pokok yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat “sebagaimana diwajibkan”. Ini menjadi persoalan karena munculnya pertanyaan; apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa di bulan Ramadhan, atau (kedua) kesamaan itu hanya meliputi hal syari’at berpuasa saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain.

Titik utama dari persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dimotori oleh Sa’id bin Jabir ra (w. 95 H), yang cenderung mengartikan hukum tasybih (penyerupaan atau penyamaan) itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syari’at tersebut, walaupun telah menjadi ‘sejarah’ serta tidak dilakukan di bulan Ramadhan yang sudah dikenal.

Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT tentang bermacam-macamnya syari’at bagi masing-masing umat manusia, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu --maksudnya: umat Nabi Muhammad saw dan umat-umat yang sebelumnya--, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” [QS 5 Al-Maa’idah: ayat 48].

Dan pendapat yang kedua lebih terfokus pemahaman pada lamanya hari berpuasa dan bulan yang diwajibkannya berpuasa. Pendapat kedua ini mengarahkan perhatiannya kepada ayat selanjutnya pada surah Al-Baqarah ayat 184, yang berbunyi, “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.” [ayyâman ma’dûdât]. Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadhan sebagaimana kaum muslimin melakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu.

Dasar pendapat ini tentu banyaknya riwayat yang menjelaskan tentang hal itu, yang antara lain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar ra (w. 73 H), sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir (701 – 774 H) yang dalam tafsirnya memuat, bahwa Nabi saw bersabda “Puasa bulan Ramadhan telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat sebelum kamu”.

Keterangan pada pendapat yang kedua ini masih terjadi ikhtilaf (perbedaan), apakah selama “beberapa hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât] berpuasa —yang diwajibkan pada kaum dahulu itu— adalah berupa sebulan penuh dalam Ramadhan atau bulan-bulan lainnya?

Terhadap pendapat yang kedua ini, intinya memuat ikhtilaf dua pendapat, pertama menyatakan bahwa puasa yang disyari’atkan pada ummat terdahulu adalah berupa puasa selama tiga hari pada setiap bulan. Abdullah bin ‘Abbas sa (w. 69 H) mengatakan, ”Syari’at sebelumnya adalah puasa tiga hari setiap bulan, lalu syari’at ini di-nasakh dengan syari’at yang baru, melalui surah Al-Baqarah ayat 185” (Tafsîr Zâdl Mashîr). Pendapat yang kedua mengklaim bahwa “hari-hari tertentu” yang dimaksud adalah bulan Ramadhan itu sendiri. Jadi, pada bulan Ramadhan jugalah umat-umat dahulu diwajibkan berpuasa.

Al-Suday menyatakan bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syari’at puasa di bulan Ramadhan, tetapi karena mereka merasakan berat, maka mereka kemudien merubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarir (224 – 310 H) secara lebih berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syari’at puasa di bulan Ramadhan bagi Nasrani (Tafsîr ath-Thabari).

Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syari’at puasa di bulan Ramadhan, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihabuddin Al-Âlusi (w. 1270 H), penulis Tafsîr Ruhul Ma’âni, merupakan klaimnya bahwa hari itu adalah hari tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di laut Merah.

Perbedaan kedua –dalam menelaah ayat syari’at puasa itu– adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud adalah orang-orang ”ahlul kitâb”, yaitu mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam (Yahudi dan Nasrani). Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasranilah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad saw.

Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syari’at puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. “Kemudien di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”. Sampai saat ini di antaranya belum ditemukan keterangan-keterangan lain di kitab Perjanjian yang menerangkan lebih jauh tentang puasa tersebut.

Selain itu dalam konteks sejarah yang lain, syari’at puasa nampaknya benar-benar menjadi syari’at setiap ummat. Sayyidah ‘Aisyah radliyallaau ’anha menceritakan –seperti yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah– bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Asyura, walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad saw, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Puasa di bulan ‘Asyura masih disyari’atkan tetapi berada dalam status sunnah.

Juga masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syari’at puasa pada ummat dahulu. Ad-Dlahâk, dalam riwayat Ibnu Abi Hatim mengatakan, bahwa puasa pertama kali disyari’atkan di zaman Nabi Nuh ’alaihis salam, dan masih tetap berlangsung hingga zaman nabi Muhammad saw. Syihabuddin Al-Alusi (w. 1270 H), penulis Tafsir Ruhul Ma’âni, dengan dasar hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar itu, lebih percaya bahwa puasa Ramadhan disyari’atkan sejak Nabi Adam ’alaihis salam. Az-Zamakhsari (467 – 538 H) melalui telaahnya atas asal usul bulan Ramadhan juga menegaskan bahwa puasa adalah amal ibadah yang sudah lama [‘Ibaadah Qadiimah].

Dengan melihat dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syari’at yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain –yang semuanya telah disinggung di atas, nampak jelas bahwa “puasa pada bulan Ramadhan” telah disyari’atkan kembali kepada manusia – tidak hanya kepada ummat Muhammad saw– setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu.

Hal ini mafhumnya lebih bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhammad saw adalah meluruskan dan memperkuat kembali syari’at-syari’at dari Allah yang –sebagaimana difirmankan di dalam Al-Qur’an– telah ditahrif atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Demi pelurusan dan penguatan syari’at pada era Islam saat ini berkembang melahirkan dugaan dari para sarjana Barat, bahwa syari’at agama Islam tidaklah murni melainkan mengadopsi dari agama-agama sebelumnya. Inilah yang akhirnya banyak kaum muslim terjebak dalam pemurtadan oleh pemahaman Barat.

Ikhwal mengenai kata Ramadhan, sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi saw di atas –riwayat Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu anhu– dan juga surat Al-Baqarah ayat 185, dirasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadhan. Yang maksudnya adalah, ketika Al-Qur’an atau Nabi Muhammad saw menyebut kata Ramadhan, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif. Yang artinya dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti qaidah-qaidah gramatikal bahasa Arab.

Inti dari singkat penjelasan di atas adalah bisa difahami dan memastikan pula bahwa bulan Ramadhan itu ada, setidaknya sejak syari’at puasa diturunkan kepada ummat manusia. Karena, arti Ramadhan itu sendiri adalah waktu dan/atau keadaan suatu hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadhan, yaitu saat yang panas, kering dan haus.

Demikianlah sekedar telaahan untuk menambah pengetahuan bahwa syari’at puasa memang sudah menjadi syari’at bagi setiap ummat manusia. Dan di antara sekian macam syari’at, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untukKu, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga dengan pernyataan Allah SWT itu, Imam al-Qurthubi (627 – 671 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa merupakan (komunikasi) rahasia antara hamba dengan Tuhannya’. Sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim ‘alaihis salam, Taurat untuk Musa ‘alaihis salam, Injîl untuk Isa ‘alaihis salam dan Al-Qur’an pun turun pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.

Puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyâm atau Shaum –keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Sha-wa-ma–, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain (Al-Syaukani, 1173 – 1255 H., Fathul-Qadîr). Shiyâm atau Shaum merupakan qiyâm bilâ ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’. Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan (harakât), baik gerakan itu berupa; berdiri, berjalan, makan, minum dan sebagainya. Sehingga, Ibnu Durayd –sebagaimana dinukil dalam Al-Alusi– mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu itu Shiyâm (sedang berpuasa).

Selain itu, puasa juga sebagaimana disebutkan di atas, berarti ‘menahan’ dari sesuatu pekerjaan. Dan ‘sesuatu’ perintah itu telah ditentukan oleh syari’at. Pemahaman intinya dalam syari’at, puasa memiliki pengertian tersendiri. Makna puasa yang “menahan” ini juga terlihat jelas tatkala jika menelusuri sejarah bahasa shiyâm atau Shaum.

Oleh Ibnu Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan Shaum sebagai “hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan shahih dalam sejarah bahasa Arab. Juga cocok dengan keterangan Al-Qur’an, misalnya; pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab cemoohan-cemoohan orang-orang kepadanya.

Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS 19 Maryam: ayat 26) Kata ‘puasa’ yang dimaksud Sayyidah Maryam pada ayat ini adalah “menahan untuk tidak bicara”.

Mengenai kata sifat ‘menahan’ menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Jenis apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhahir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk mengamalkan puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan dzahir atau fisik jenis apapun. Pantas jika Nabi Muhammad saw bersabda bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ –memperlihatkan kebaikan tertentu– adalah dengan jalan puasa.

Jika memperhatikan dari keterangan-keterangan Ibnu Mandzur dan Al-Razi tersebut di atas, baik tentang arti dari Ramadhan maupun puasa, ada indikasi bahwa seolah-olah turunnya syari’at puasa, saling terkait dan bersamaan waktunya dengan kelahiran dalam bulan Ramadhan. Dalam keyakinan ilmiyahnya bisa dibenarkan, dikarenakan kedua kata itu memiliki relasi arti yang dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama ‘panas’ atau ‘kering’ yang disebabkan ‘berpuasa’.

Kamis, 21 Agustus 2008

"Ramadhan" (Etimologi)


(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

[QS 2 Al-Baqarah: ayat 185]


Sebaiknya kita simak dari kalimat-kalimat ayat ini. Di dalam ayat ini ada kata Ramadhan yang berasal dari akar kata dasar r – m – dl (ر م ﺿ), atau dalam huruf Arab terdiri dari huruf ra – mim – dlad asal kata (madli) ra-mi-dla yang berarti “panas” atau “panas yang menyengat”. Kata itu berkembang –sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab– dan bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat panas”, atau dimaknai “hampir membakar”. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumunâ, maka itu berarti “hari telah menjadi sangat panas”.

Ar-Ramadlu juga bisa diartikan “panas yang diakibatkan sinar matahari”. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Ramadhan itu adalah salah satu nama Allah SWT. Dalam hal ini kalau melihat dari ayat tersebut di atas tidaklah mungkin diartikan nama Allah, karena pendapat ini memang lemah dan tidak memiliki argumentasi literal.

Itulah singkat dari pengartian istilah bulan Ramadhan diambil dari kalimat ramidla –yarmadlu, yang berarti “panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus”. Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadhan ini disampaikan oleh Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir Al-Razi (w. 721 H.) dalam kamus Mukhtarush Shihhah dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashrî (630 – 711 H.), yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzur, dalam karya monumentalnya, Lisanul ‘Arab.

Bangsa Babylonia yang budayanya pernah sangat dominan di utara Jazirah Arab menggunakan luni-solar calendar (penghitungan tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus). Bulan ke sembilan selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Sejak pagi hingga petang batu-batu gunung dan pasir gurun terpanggang oleh segatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang daripada waktu malamnya. Di malam hari panas di bebatuan dan pasir sedikir reda, tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari. Demikian terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadhan, bulan dengan panas yang menghanguskan.

Setelah umat Islam mengembangkan kalender berbasis bulan, yang rata-rata 11 hari lebih pendek dari kalender berbasis matahari, bulan Ramadhan tak lagi selalu bertepatan dengan musim panas. Orang lebih memahami 'panas'nya Ramadhan secara metaphoric (kiasan). Karena di hari-hari Ramadhan orang berpuasa, tenggorokan terasa panas karena kehausan. Atau, diharapkan dengan ibadah-ibadah Ramadhan maka dosa-dosa terdahulu menjadi hangus terbakar dan seusai Ramadhan orang yang berpuasa tak lagi berdosa. Wallahu `alam.

Dari akar kata tersebut kata Ramadhan digunakan untuk mengindikasikan adanya sensasi panas saat seseorang kehausan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata Ramadhan digunakan karena pada bulan itu dosa-dosa dihapuskan oleh perbuatan baik sebagaimana matahari membakar tanah. Namun kata ramadan tidak dapat disamakan artinya dengan ramadhan. Ramadan dalam bahasa arab artinya orang yang sakit mata mau buta. Lebih lanjut lagi hal itu dikiaskan dengan dimanfaatkannya momen Ramadhan oleh para penganut Islam yang serius untuk mencairkan, menata ulang dan memperbaharui kekuatan fisik, spiritual dan tingkah lakunya, sebagaimana panas merepresentasikan sesuatu yang dapat mencairkan materi.

Persiapkan Diri Secara Maksimal


Persiapan Mental

Persiapan mental untuk puasa dan ibadah terkait lainnya sangat penting. Apalagi pada saat menjelang hari-hari terakhir, karena tarikan keluarga yang ingin belanja mempersiapkan hari raya, pulang kampung dll, sangat mempengaruhi umat Islam dalam menunaikan kekhusu’an ibadah Ramadhan. Dan kesuksesan ibadah Ramadhan seorang muslim dilihat dari akhirnya. Jika akhir Ramadhan diisi dengan i’tikaf dan taqarrub yang lainnya, maka insya Allah dia termasuk yang sukses dalam melaksanakan ibadah Ramadhan.


Persiapan ruhiyah (spiritual)

Persiapan ruhiyah dapat dilakukan dengan memperbanyak ibadah, seperti memperbanyak membaca Al-Qur’an saum sunnah, dzikir, do’a dll. Dalam hal mempersiapkan ruhiyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:” Saya tidak melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim).



Persiapan fikriyah

Persiapan fikriyah atau akal dilakukan dengan mendalami ilmu, khususnya ilmu yang terkait dengan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang berpuasa tidak menghasilan kecuali lapar dan dahaga. Hal ini dilakukan karena puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup. Seorang yang beramal tanpa ilmu, maka tidak menghasilkan kecuali kesia-siaan belaka.



Persiapan Fisik dan Materi

Seorang muslim tidak akan mampu atau berbuat maksimal dalam berpuasa jika fisiknya sakit. Oleh karena itu mereka dituntut untuk menjaga kesehatan fisik, kebersihan rumah, masjid dan
lingkungan. Rasulullah mencontohkan kepada umat agar selama berpuasa tetap memperhatikan
kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa peristiwa di bawah ini :
  • Menyikat gigi dengan siwak (HR. Bukhori dan Abu Daud).

  • Berobat seperti dengan berbekam (Al-Hijamah) seperti yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim.

  • Memperhatikan penampilan, seperti pernah diwasiatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah ibnu Mas’ud ra, agar memulai puasa dengan penampilan baik dan tidak dengan wajah yang cemberut. (HR. Al-Haitsami).
Sarana penunjang yang lain yang harus disiapkan adalah materi yang halal untuk bekal ibadah Ramadhan. Idealnya seorang muslim telah menabung selama 11 bulan sebagai bekal ibadah Ramadhan. Sehingga ketika datang Ramadhan, dia dapat beribadah secara khusu’ dan tidak berlebihan atau ngoyo dalam mencari harta atau kegiatan lain yang mengganggu kekhusu’an ibadah Ramadhan.

Marhaban

Sebentar lagi Ramadhan akan tiba. Ummat Islam biasa menyambut kedatangan bulan suci yang disebut tamu agung oleh Rasulullah Saw ini dengan kalimat "Marhaban ya Ramadhan".

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."
Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".

Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah."

Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan."

Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.


Mari kita sambut Ramadhan dengan mempersiapkan diri "menjamu tamu agung ini sebaik-baiknya". Semoga Allah senantiasa memberkahi kita semua. Kullu aamin wa antum bi khair.

Jumat, 15 Agustus 2008

63 Tahun Indonesia di Tangan Asing

Jumat, 15/08/2008 08:29 WIB
63 Tahun Indonesia di Tangan Asing
Pendi Supendi - suaraPembaca (detikcom)

Jakarta - Indonesia kini genap 63 tahun. Usia yang patut disyukuri karena mencapai rata-rata harapan hidup orang Indonesia. Namun, masalahnya apakah Indonesia saat ini sudah benar-benar merdeka. Pertanyaan itu layak dilontarkan sebab selama 63 tahun Indonesia merdeka cita-cita kemerdekaan berupa terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera masih jauh dari kenyataan.

Pertanyaan itu mungkin akan terjawab oleh fenomena balap karung yang selalu saja dilombakan tiap 17 Agustusan. Permainan itu sesungguhnya mencerminkan jiwa bangsa.

Balap karung persis menunjukkan perjalanan bangsa Indonesia yang selalu saja kesrimpung. Maklum, nafsu untuk berlari besar tapi tenaga mampat karena kedua kaki terbelenggu (ujung karung). Ironisnya, (karung) belenggu itu kita pegang sendiri kencang-kencang dengan kedua belah tangan.

Kita teriak-teriak, "kita harus bangkit, kita harus mandiri, kita harus bisa bersaing dengan bangsa lain". Atau kita gembar-gembor "merdeka merdeka!" Tapi, di saat yang sama kita menghamba pada Amerika. Amien Rais mengatakan demikian itu sebagai mental inlander. Lewat bukunya Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, ia secara gamblang menggambarkan kekayaan alam Indonesia yang mayoritas sudah dikuasai asing.

Pengurasan kekayaan alam Indonesia dimulai dengan intervensi terhadap produk hukum RI yang mengizinkan asing menguasai aset nasional nyaris tanpa batas. Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development) "USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform". Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, "The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000"

Mengenai kenaikan harga BBM, USAID menyebut keterlibatan Bank Dunia sebagai berikut "Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring." Jadi betapa telah sangat dalam dan jauhnya pihak asing, khususnya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia.

Hal itu dipertegas dengan laporan berjudul "Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM", yang diterbitkan Pusat Studi Energi, Departemen ESDM pada Desember 2001. Kajian ini ternyata dibiayai AUSAID (Australia Agency for International Development), melalui International Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia. Tentu saja, di sini berlaku hukum tidak ada makan gratis. Kajian tersebut memuat skenario meliberalisasi harga BBM.

Skenario pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010.

Jadi begitu hinanya sebuah bangsa yang telah berumur 63 tahun. Namun langkah demi langkah masa depannya digariskan Asing. Terutama Amerika Serikat. Faktanya campur tangan asing itu tak hanya di sektor migas. Tapi, juga di sektor lainnya. RUU Kelistrikan misalnya dibuatkan Bank Dunia. Sedangkan RUU BUMN dibuatkan oleh Price Waterhouse Coopers. RUU SDA, RUU Maritim, RUU BHP, dan regulasi mengenai hajat hidup rakyat juga tak lepas dari intervensi asing.

Pendidikan Hingga Hankam Tunduk pada Asing
Dalam bidang pendidikan sejumlah perguruan tingga Favorit seperti UGM, UI, ITB, dan IPB sejak 2000, berubah statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasarkan PP No 60/1999 dan PP No 61/1999. Kelak, mereka bakal menjadi perusahaan jasa pendidikan murni dengan payung Badan Hukum Pendidikan (BHP) berdasarkan UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 53 ayat 4.

Darwis SN, pemerhati kebijakan publik yang alumnus University of Adelaide Australia, mengungkapkan, draft RUU BHP sebenarnya dirancang sejak pertemuan "World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action" di Paris tahun 1998 yang disponsori UNESCO.

Ia merupakan salah satu konsekuensi dari General Agreement on Trade in Services (GATS) WTO yang meliberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi, dan pendidikan selama hayat.

Bersama Amerika dan Inggris, Australia memang paling getol mendesakkan liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Pasalnya, sejak tahun 1980-an, mereka mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi jasa pendidikan (Ender dan Fulton, Eds, 2002). Pada tahun 2000 saja, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp 126 triliun.

Asing juga dibiarkan mengambil alih perusahaan-perusaahan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti BUMN. Dengan UU no 25/2007 tentang Penanaman Modal, pemain asing dan pemain lokal dibiarkan bebas berkompetisi di Indonesia. Pasal 7 ayat 1 dan 2 malah menghalangi "nasionalisasi" dengan berbagai aturan yang menyulitkan dan merugikan negara sendiri. Yang terjadi justru internasionalisasi BUMN.

Tahun ini, Komite Privatisasi memutuskan untuk memprivatisasi (melego) 34 BUMN dan melanjutkan privatisasi 3 BUMN yang tertunda tahun sebelumnya. Privatisasi melalui IPO di bursa efek dan dengan penjualan strategis (strategic sales) langsung kepada investor yang ditunjuk (Bisnis Indonesia, 5/2/2008).

Inilah privatisasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang dalam kurun 1991 - 2001 telah 14 kali melego 12 BUMN. Pada periode 2001 - 2006, kembali 14 privatisasi menjual 10 BUMN. Sedangkan hanya setahun, pada 2008 ini melego 37 BUMN. Masih pula disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN dijual dengan kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lagi dijual kepada asing.

Sekretaris Menteri Negara BUMN Muhammad Said Didu mengatakan, sebanyak 85 persen saham BUMN yang sudah melantai di bursa dikuasai oleh asing. Beberapa BUMN besar yang sudah menjadi perusahaan terbuka dan selalu membukukan keuntungan, antara lain PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, PT Bukit Asam Tbk (Tempo Interaktif, 23 Pebruari 2006).

Di sektor perbankan, dengan pasal 22 ayat 1b UU Perbankan, warga negara dan badan hukum asing bebas untuk bermitra dengan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia mendirikan Bank Umum. Pihak asing pun bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia.

Saat ini 6 dari 10 perbankan terbesar di Indonesia kepemilikan mayoritasnya dikuasai asing. Menurut data Biro Riset InfoBank, Singapura merupakan yang paling banyak mengoleksi bank swasta Indonesia, yakni Bank Danamon, BII, Bank NISP, dan Bank Buana.

Tidak termasuk bank campuran, seperti Development Bank of Singapore (DBS) Indonesia, Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC) Indonesia, dan United Overseas Bank (UOB) Indonesia. Totalnya tujuh bank. Kalau dirunut, kepemilikan Singapura ini perpanjangan tangan dari Temasek Holding.

Sementara di bidang migas, berdasarkan UU Migas No 22 tahun 2001, pemain asing boleh masuk sebebasnya dari hulu sampai hilir. Saat ini, menurut DR Hendri Saparini, lebih dari 90% dari 120 kontrak production sharing kita dikuasai korporasi asing. Dari sekitar satu juta barrel per hari Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barrel, sedikit di atas Medco 75 ribu barrel. Itu pun, menurut pasal 22 ayat 1 UU Migas, badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sebaliknya produksi terbesar adalah Chevron sekitar 450 ribu barrel per hari. Berdasar UU Migas yang radikal itu, pada 2004 sebanyak 105 perusahaan swasta mendapat izin untuk merambah sektor hilir migas. Termasuk membuka SPBU (Trust, edisi 11/2004).

Perusahaan itu antara lain British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika). Mereka mulai beroperasi setelah pemerintah dua kali menaikkan harga BBM pada 2005.

Di bidang pertahanan-keamanan, kita diatur asing lewat program-program seperti IMET (dengan Amerika), DCA (Singapura), Densus 88 (AS), NAMRU 2 (AS). Proyek NAMRU 2, disebut Koordinator MER-C Dr Jose Rizal sebagai pangkalan militer AS di jantung Indonesia.

Asing juga menguasai bisnis mutiara, pelayaran, jasa perawatan, dan industri petrokimia. Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan dari sekitar 20-an industri petrokimia di Indonesia hanya empat yang dimiliki oleh pengusaha lokal. "Dari 20-an perusahaan petrokimia, hanya empat yang dimiliki lokal. Selebihnya Filipina, Taiwan, dan Korea," kata Menperin dalam seminar Indonesia Investor Forum 2 di Jakarta (Kapanlagi.com, 31 Mei 2007).

Membebaskan Diri
Tanggal 17 Agustus 2008 bangsa Indonesia akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-63. Namun, peringatan itu menjadi hilang maknanya tatkala melihat kondisi bangsa kita saat ini yang masih memprihatinkan karena diatur dan dikuasai oleh Asing. Melalui bantuan para kompradornya asing terbukti telah menguasai hampir semua kekayaan alam kita. Termasuk mengendalikan arah kehidupan bangsa ini. Sungguh ironis.

Sebagai bangsa yang berdaulat tentu kita tidak ingin terus menerus berada dalam cengkraman asing tersebut. Karena itu bagi bangsa yang terjajah seperti Indonesia ini hanya satu jalan yang layak diupayakan, yaitu membebaskan diri dari penjajahan itu sehingga diraihnya kemerdekaan hakiki.

Kemerdekaan hakiki itu hanya bisa diraih dengan mengganti sistem kapitalis sekuler dengan sistem Islam. Sebab sistem kapitalis sekuler inilah yang terbukti telah melahirkan para pemimpin pembebek dan menghamba kepada materi sehingga rela menggadaikan kekayaan alam di negerinya.

Agar kita bisa membebaskan diri keterjajahan asing maka sekali lagi kita harus kembali kepada sistem Islam. Sistem Islamlah yang nanti akan membebaskan negeri ini dari penghambaan kepada manusia atau materi menuju penghambaan kepada Allah semata. Wallahualamu.

Pendi Supendi
Gang Masji1 No 118 RT 04 RW 10 Bogor
mzm_pendi5@yahoo.com
081380696761

[sumber : detikcom]

Sepenggal Fragmen Sidang BPUPKI (Piagam Jakarta)

Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI terbitan Setneg digambarkan perdebatan dalam badan tersebut. Piagam Jakarta sebenarnya adalah “rumusan kompromi”, bukan kemenangan Islam 100 persen.

Dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, baik pihak Kristen maupun pihak Islam masih mempersoalkan rumusan Piagam Jakarta itu. Dari pihak Kristen, muncul Latuharhary dari Maluku, yang menggugat rumusan Piagam Jakarta. Latuharhary tidak secara tegas menyampaikan aspirasi Kristen, tetapi menyoal, jika syariat Islam diwajibkan pada pemeluknya, maka mereka harus meninggalkan hukum adat yang sudah diterapkannya selama ini, seperti di Minangkabau dan Maluku.

Haji Agus Salim, yang asal Minangkabau, membantah pernyataan Latuharhary, bahwa Piagam Jakarta akan menimbulkan kekacauan di Minangkabau. Malah dia menegaskan: “Wajib bagi umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia, itu adalah satu hak umat Islam yang dipegangnya.”

Menanggapi Latuharhary, Soekarno menyatakan: “Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini; jadi perselisihan nanti terus.”

Wachid Hasjim, tokoh NU yang juga ayah dari Abdurrahman Wahid, juga menyampaikan tanggapannya, bahwa rumusan Piagam Jakarta itu tidak akan menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan. Malah, dengan tegas, Wachid Hasjim, menyatakan: “Dan jika masih ada yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakana bahwa masih ada yang berpikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan pada saya, apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi, dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang.”

Menanggapi pernyataan Wachid Hasjim itu, Soekarno menegaskan lagi, “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”

Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) UUD 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi persoalan.

Dalam rapat tanggal 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah Agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Wachid Hasjim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”

Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI: “Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan angora Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.”

Kisah-kisah seperti ini tidak dibeberkan secara gamblang dalam buku sejarah untuk anak-anak kita di sekolah-sekolah. Karena itu, tanggal 22 Juni seyogyanya menjadi hari penting bagi bangsa Indonesia.

PPKI Mencoret Piagam Jakarta (Pengkhianatan II terhadap Muslimin)

Seharusnya Bangsa Indonesia termasuk para pemimpinnya, bersyukur kepada Allah atas terlepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajah yang lebih 300 tahun lamanya itu. Karena kemerdekaan itu didapat hanya atas keringat perjuangan Bangsa Indonesia, dan atas pertolongan dan Rahmat Allah. Secara logika mana mungkin tentara sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II dapat dilawan dengan senjata bambu runcing ? Pantaslah kita bersyukur dan bersujud kepada­Nya.

Tetapi apa yang terjadi ? Sehari setelah Proklamasi dibaca, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dengan berbuat dosa besar kepada Allah, dan bersalah kepada Bangsa Indonesia, khususnya Umat Islam, yakni dengan mencoret kalimat Piagam Jakarta yang vital dan sakral di antara isi piagam tersebut. Mereka mencoret kalimat yang berbunyi:

…….. dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk pe-meluknya." (Pengkhianatan kedua).

Mereka telah memperlihatkan belangnya sebagai nasionalis sekuler dan kolaborator penjajah yang anti Islam, yang membawa masyarakat dan negara kearah yang dimurkai Allah, yaitu deislamisasi. Jelaslah kaum nasionalis sekuler tidak tahu arti bersyukur dan tidak tahu arti syukur nikmat kemerdekaan. PPKI jelas telah menyimpang dari wewenang tugasnya yaitu mensyahkan UUD yang telah rampung, dibuat oleh BPUPKI, kemudian memilih Presiden dan wakil Presiden. Jadi bukan mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang telah di tanda tangani 56 hari sebelumnya oleh sembilan orang tokoh terkemuka dari berbagai macam aliran dan golongan. Pencoretan ini jelas tidak sah dan merupakan penghianatan terbesar sesudah Proklamasi kemerdekaan! Ya, dimana ada pemimpin, ada pula pengkhianat yang munafik.

Untuk mengenang peristiwa yang menyedihkan itu anggota BPUPKI dan penandatangan no.5 diantara penandatangan yang sembilan orang itu, yaitu Pof Kahar Muzakir, dalam pidatonya pada Sidang Kon-stituante di Bandung tahun 1957, mengutarakan kekecewaan hatinya seperti ini: “Apa lacur 18 Agustus!” Selanjutnya beliau berkata antara lain: “Yang menghianati Piagam bukan kami, tetapi kaum nasionalis !

Maaf barangkali mereka belum puas sebelum mengkafirkan negara dan Bangsa Indonesia. Laksana Kemal Attaturk mensekulerkan Turki.
Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa kemunduran ummat terjadi secara bertahap. Dimulai dari lepasnya ikatan Islam berupa simpul hukkam/kenegaraan. Ini pulalah yang menimpa negeri ini. Sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku ”amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat.
Mereka telah mencoret kata-kata ”syariat Islam” dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi ”darurat” tersebut nama Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan..! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala...!

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR Ahmad 45/134)

Penyelewengan Teks Proklamasi (Pengkhianatan I terhadap Muslimin)

Pada 16 Agustus 1945 petang hari, Soekarno dan Hatta dijemput oleh Ahmad Soebardjo, seorang kepercayaan Jepang, dan setelah Ahmad Soebardjo memberikan jaminan kepada para pemuda PETA di Rengasdengklok, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan besok, 17 Agustus 1945, barulah para pemuda itu melepaskan BK dan Bung Hatta kembali ke Jakarta. Di Jakarta mereka membicarakan sekitar Proklamasi di rumah Laksamana Muda Maeda, jalan Imam Bonjol No.1 sampai pukul tiga dini hari. Terjadilah dialog menarik antara BK dengan Soebardjo, seperti diceritakan dalam buku Lahirnya Republik Indonesia:

Masih ingatkah saudara, teks dan bab Pembukaan Undang-undang Dasar kita?

“Soekarno tanya kepada saya”, kata Soebardjo.

“Ya saya ingat”, saya menjawab, “Tetapi tidak lengkap seluruhnya”.

“Tidak mengapa”, Soekarno bilang, “Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukan seluruh Teksnya.”

Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai dengan apa yang saya ucapkan sebagai berikut: “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan.”
Di samping itu, Soebardjo mengakui pula: "Suatu kenyataan bahwa teks dari Proklamasi telah dirumuskan dalam apa yang dinamakan Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945. Rumusan ini hasil dari pertimbangan pertimbangan mengenai kata pembukaan atau Bab Pengantar dan undang-undang dasar kita oleh sembilan komite di mana Soekarno sendiri adalah ketuanya” (Mr.Ahmad Subardjo, Lahirnya Republik Indonesia, hlm. 108, PT Kinta, Jakarta 1972). Soebardjo kemudian menjadi Menlu RI yang pertama.

Dalam versi lain, Hatta berkomentar seperti ini,… Kalimat itu hanya menyatakan kemauan Bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebab itu, mesti ada komplemennya yang menyatakan bagaimana caranya menyelenggarakan Revolusi Nasional. Lalu, menurut Hatta, ia diktekan kalimat berikut: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat­singkatnya.” (Mohammad Hatta, sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 hlm. 50, Tinta Mas, Jakarta 1969).

Proklamasi Kemerdekaan itu diumumkan di rumah BK, Pegangsaan Timur No.56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jumat bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.

Teks Proklamasi kemerdekaan RI yang di-kumandangkan setiap 17 Agustus, adalah teks yang tidak sah dan tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang di putuskan oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945.

Mengapa Proklamasi yang demikian penting dianggap remeh seolah-olah tanpa persiapan yang matang, dibuat terburu-buru pada malam hari, ditulis dengan tulisan tangan di atas secarik kertas disertai coret-coretan padahal beberapa jam lagi Prokla-masi akan diucapkan? Ironisnya, teks proklamasi "bid’ah", yang mengada-ada itu, dibuat di rumah seorang perwira Jepang, Laksamana Muda Maeda.

Mestinya Soekarno, Hatta dan Subardjo dimalam itu tidak perlu membicarakan teks proklamasi, teks yang sebenarnya telah selesai dipersiapkan oleh BPUPKI dua bulan sebelumnya. Malam itu cukup mereka membicarakan masalah teknis pelaksanaan, tempat, jam berapa akan diucapkan, siapa yang akan mengucapkan dan siapa-siapa yang akan diundang. Adapun teks Proklamasi tidak perlu dibicarakan lagi, sebab sudah ada dan sudah final, tidak perlu diubah-ubah lagi.

Teks Proklamasi Yang Asli

Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 juni 1945 itu sesuai dengan lafal atau teks Piagam Jakarta. Jelasnya teks Proklamasi itu haruslah berbunyi:

PROKLAMASI

Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dan di dorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini Rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Republik Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan pedamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Jakarta,22 Juni 1945

Ir. Soekarno
Drs. Muhammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Cokrosuyoso
Abdul Kahar Muzakir
H. Agus Salim
Mr. Ahmad Subardjo
K.H. Wahid Hasjim
Mr. Muh Yamin

Demikian teks Proklamasi Asli yang harus di-kumandangkan bergema dan mengudara setiap Proklamasi di kumandangkan pada tanggal 17 Agustus. Tetapi hal itu tidak terjadi karena penyelewengan dan penghianatan sejarah.