Jumat, 15 Agustus 2008

PPKI Mencoret Piagam Jakarta (Pengkhianatan II terhadap Muslimin)

Seharusnya Bangsa Indonesia termasuk para pemimpinnya, bersyukur kepada Allah atas terlepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajah yang lebih 300 tahun lamanya itu. Karena kemerdekaan itu didapat hanya atas keringat perjuangan Bangsa Indonesia, dan atas pertolongan dan Rahmat Allah. Secara logika mana mungkin tentara sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II dapat dilawan dengan senjata bambu runcing ? Pantaslah kita bersyukur dan bersujud kepada­Nya.

Tetapi apa yang terjadi ? Sehari setelah Proklamasi dibaca, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dengan berbuat dosa besar kepada Allah, dan bersalah kepada Bangsa Indonesia, khususnya Umat Islam, yakni dengan mencoret kalimat Piagam Jakarta yang vital dan sakral di antara isi piagam tersebut. Mereka mencoret kalimat yang berbunyi:

…….. dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk pe-meluknya." (Pengkhianatan kedua).

Mereka telah memperlihatkan belangnya sebagai nasionalis sekuler dan kolaborator penjajah yang anti Islam, yang membawa masyarakat dan negara kearah yang dimurkai Allah, yaitu deislamisasi. Jelaslah kaum nasionalis sekuler tidak tahu arti bersyukur dan tidak tahu arti syukur nikmat kemerdekaan. PPKI jelas telah menyimpang dari wewenang tugasnya yaitu mensyahkan UUD yang telah rampung, dibuat oleh BPUPKI, kemudian memilih Presiden dan wakil Presiden. Jadi bukan mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang telah di tanda tangani 56 hari sebelumnya oleh sembilan orang tokoh terkemuka dari berbagai macam aliran dan golongan. Pencoretan ini jelas tidak sah dan merupakan penghianatan terbesar sesudah Proklamasi kemerdekaan! Ya, dimana ada pemimpin, ada pula pengkhianat yang munafik.

Untuk mengenang peristiwa yang menyedihkan itu anggota BPUPKI dan penandatangan no.5 diantara penandatangan yang sembilan orang itu, yaitu Pof Kahar Muzakir, dalam pidatonya pada Sidang Kon-stituante di Bandung tahun 1957, mengutarakan kekecewaan hatinya seperti ini: “Apa lacur 18 Agustus!” Selanjutnya beliau berkata antara lain: “Yang menghianati Piagam bukan kami, tetapi kaum nasionalis !

Maaf barangkali mereka belum puas sebelum mengkafirkan negara dan Bangsa Indonesia. Laksana Kemal Attaturk mensekulerkan Turki.
Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa kemunduran ummat terjadi secara bertahap. Dimulai dari lepasnya ikatan Islam berupa simpul hukkam/kenegaraan. Ini pulalah yang menimpa negeri ini. Sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku ”amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat.
Mereka telah mencoret kata-kata ”syariat Islam” dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi ”darurat” tersebut nama Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan..! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala...!

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR Ahmad 45/134)

Tidak ada komentar: