Belum lama ini 40 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) melayangkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan dalih penghormatan pada kebebasan berpendapat. Mereka meminta (atau menyuruh?) agar dua tokoh gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage dibebaskan tanpa syarat dari hukuman (Republika, 8 Agustus 2008). Padahal oleh pengadilan Filep Karma dan Yusak Pakage telah dijatuhi hukuman 15 dan 10 tahun penjara pada Mei 2005 lalu karena terbukti terlibat dalam kasus makar pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, Papua pada 1 Desember 2004.
Ini bukti yang terang benderang tentang adanya campur tangan AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia. Lebih dari itu, surat ini juga merupakan dukungan terhadap gerakan separatis OPM. Peristiwa ini tidak dapat diartikan lain kecuali bahwa AS memang mendukung OPM yang menginginkan Papua melepaskan diri dari Indonesia dan jelas-jelas mengancam kesatuan wilayah Indonesia.
Sudah seharusnya, sebagai negara yang berdaulat, Presiden SBY dan seluruh jajaran pemerintahan menolak dengan tegas tekanan itu dan tetap dalam pendirian untuk melanjutkan hukuman terhadap tokoh OPM dan menghancurkan gerakan separatis itu sampai ke akar-akarnya. Lebih baik lagi jika pemerintah mau menghentikan segala bentuk ketergantungan apalagi komitmen kepada AS yang pasti hanya akan makin menguatkan cengkeraman negara imperialis AS dan makin menjerumuskan Indonesia kedalam jebakan penjajah.
Papua atau Irian Jaya adalah tanah ummat Islam. Oleh karena itu umat Islam, khususnya di Papua, harus merapatkan barisan dengan umat Islam di seluruh Indonesia untuk menolak rancangan negara Kafir penjajah dalam rangka memisahkan diri dari wilayah Indonesia. Karena tindakan separatis seperti itu merupakan dosa besar di hadapan Allah SWT. Jika ini terjadi maka para pelaku tidak akan pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan memisahkan diri, ummat Islam di sana akan menjadi kelompok minoritas. Kemudian setelah itu akan mengalami nasib yang sama seperti Timor Timur pasca “merdeka” dari Indonesia. Mereka diusir dari rumah dan negerinya sendiri. Atau lebih jauh lagi mungkin saja akan mengalami inkuisisi, sebagaimana yang dialami oleh kaum Muslim di Spanyol. Naudzubillahi min dzalik.
Mudah-mudahan kaum Kristen, baik di Papua maupun di seluruh Indonesia, tidak mudah dihasut oleh kaum kafir imperialis sehingga melakukan tindakan bodoh separatis. Karena sudah berulang kali kaum kafir imperialis itu terbukti tidak pernah peduli nasib mereka. Yang ada dalam obsesi imperialis itu adalah kekayaan alam Papua yang memang melimpah. Jika lepas dari Indonesia, sudah pasti mereka pun akan jadi korban yang tidak akan luput dari penjajahan, sebagaimana nasib kaum Kristen Timor Timur. Bahkan, nasib mereka tidak lebih baik, dibanding ketika mereka masih menjadi bagian Indonesia. Hingga kini, mereka pun masih belum merdeka, bahkan untuk disebut negara pun belum layak. Ini akibat terburu nafsu untuk “merdeka” sehingga terjebak permainan negara imperialis untuk menguasai kekayaan mereka.
Kesombongan negara adidaya (yang sebentar lagi akan runtuh) itu harus dilawan. Kekuatan yang akan menandinginya harus dibentuk. Dan hanya Khilafahlah yang mampu menyatukan negeri-negeri Islam sehingga memiliki kekuatan untuk melindungi diri dari gerakan separatis serta manuver politik negara penjajah yang berusaha terus memecah belah negeri-negeri Islam sebagaimana ditunjukkan dengan dukungan AS terhadap gerakan separatis OPM ini. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar