5 Januari 1808. Maarschalk Herman Willem Daendels menjejakkan kakinya di Anyer, Banten. Ini adalah hari pertamanya di Pulau Jawa setelah perjalanan jauh melintas samudra dari negeri Belanda. Tidak ringan misi yang diembannya di negeri jajahan ini. Raja Belanda Louis (Lodewijk) Napoleon, saudara Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte, mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal di Jawa menggantikan Albertus Wiese. Tugas utama Gubernur Jenderal Daendels adalah menyelamatkan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius jatuh pada tahun 1807. Beberapa kali armada Inggris terlihat di perairan utara Laut Jawa, dekat Batavia. Delapan tahun lalu, tepatnya tahun 1800, armada Inggris berhasil memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust. Belum lama, dua tahun lalu, tahun 1806, armada Inggris muncul di Gresik. Kegentingan politik mewarnai kedatangan Daendels hari itu.
Gubernur Jenderal baru ini bergerak cepat. Ia sadar betul, kekuatan Perancis-Belanda di Jawa tidak akan mampu menghadapi armada Inggris. Ia pun merestrukturisasi kekuatan militernya. Orang-orang pribumi direkrutnya menjadi tentara. Ia membangun sejumlah rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia mendirikan Benteng Lodewijk dan membangun sebuah pabrik senjata. Di Semarang ia membangun pabrik meriam. Sementara, sekolah militer ia dirikan di Batavia.
Namun, lebih dari semua itu, proyek utamanya demi mempertahankan Jawa adalah membangun jalan raya sepanjang lebih kurang 1.000 kilometer yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur Pulau Jawa, menghubungkan Anyer hingga Panarukan. Tujuannya satu agar mobilisasi perang dapat berjalan cepat. Hanya dengan jalur darat yang bagus mobilisasi pasukan untuk mempertahankan Jawa akan lebih mudah dilaksanakan. Inilah Jalan Raya Pos (Groote Postweg, The Great Post Road).
***
Era kekuasaan Daendels di Pulau Jawa yang hanya tiga tahun (1808-1811) merupakan salah satu titik kelam sejarah bangsa ini. Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mengabadikan masa-masa pahit itu. Dengan getir ia menulis,
" . . . Indonesia adalah negeri budak.
Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain. . . "
Sejarah mencatat, lebih dari 12.000 jiwa tewas akibat kerja paksa membangun jalan ini.
Namun siapa nyana, di balik hitamnya sejarah masa lalu, Daendels telah meletakkan dasar bagi perkembangan tata ruang kota dan hubungan antarkota di Jawa sejak awal abad XIX hingga kini. Jalan raya itu kini menjadi urat nadi transportasi di Jawa. Pembangunan Jalan Raya Pos juga telah mengubah wajah perkotaan di Jawa. Kehidupan ekonomi di kota-kota yang dilewati jalur Jalan Raya Pos berkembang pesat. Satu kota mati, kota lain tumbuh. Begitu terus sepanjang waktu. Selama 200 tahun (1808-2008) jalan raya itu menjadi saksi bisu hidup dan matinya kota-kota di Pulau Jawa. [kompas]
1 komentar:
Silah simak, semoga bermanfaat
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html
Kompilasi Liputan Khusus Kompas (40 artikel berita-feature dan opini)
: Ekspedisi 200 Tahun Anjer-Panaroekan (Anyer-Panarukan)
Bacaan penting untuk refleksi 100 tahun kebangkitan nasional, 10 tahun reformasi
Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”
-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
dikutip oleh Redaksi Kompas untuk pengantar edisi khusus ini
salam hangat
andreas iswinarto
Posting Komentar