Kamis, 14 Agustus 2008

Pelajaran dari Liberalisasi Perdagangan ala WTO

World Trade Organization (WTO) yang merupakan salah satu pilar ekonomi kapitalisme global, baru saja menyelesaikan sidang putaran Jenewa yang dihadiri oleh 40 menteri perdagangan dari 40 negara. Namun sidang WTO yang berlangsung selama 9 hari itu gagal menghasilkan kesepakatan baru terkait penurunan tariff masuk produk-produk pertanian. Kegagalan itu merupakan yang kedua setelah perundingan WTO di Doha tahun 2001 juga mengalami nasib yang sama.
Ketua World Trade Organization, Pascal Lamy secara resmi akhirnya harus mengatakan di depan ratusan wartawan di Jenewa pada akhir Juli 2008 lalu. “Pihak-pihak yang bersilang pendapat tidak berhasil mencari solusi untuk mencari jalan tengah sehingga perundingan gagal menghasilkan kesepakatan,” ujarnya.

Negara-negara kapitalis utama langsung menuduh negara-negara berkembang, khususnya India dan China sebagai penyebab dibalik kegagalan perundingan WTO. Bahkan mereka menuduh India ingin menggagalkan perundingan WTO. Negara-negara maju menilainya sebagai langkah kemunduran bagi ekonomi global dan akan berdampak buruk bagi ekonomi dunia secara keseluruhan. Negosiator Urusan Perdagangan Uni Eropa, Peter Mandelson tak ketinggalan berkomentar. Dia mengatakan, kegagalan perundingan WTO telah mengubur harapan banyak pihak yang ingin melihat dunia lebih sejahtera. Beberapa analis, bahkan mengatakan kegagalan WTO merupakan akhir kesepakatan perdagangan multi pihak.

Respon negara-negara industri maju yang cenderung memblow-up kegagalan perundingan WTO akan berdampak buruk bagi ekonomi dunia, bukan tanpa maksud. Banyak pihak menyebutnya sebagai politik Barat untuk menakut-nakuti negara berkembang agar bersikap lunak dalam perundingan WTO pada musim panas tahun depan, serta upaya untuk menimpakan sebagian tanggung jawab munculnya berbagai macam krisis yang menghantui ekonomi dunia saat ini, kepada kebijakan negara-negara berkembang yang masih memproteksi pasarnya. Krisis terjadi, menurut versi Barat, karena negara-negara berkembang tidak mampu memanfaatkan peluang-peluang perdagangan bebas untuk kemakmuran rakyatnya.

Akar permasalahannya sebetulnya terfokus pada 2 hal, pertama ketimpangan mekanisme pengambilan keputusan dalam sidang-sidang WTO antara negara-negara berperekonomian maju dengan negara berkembang yang memiliki ekonomi lemah. Selama ini, hanya 7 negara yang memiliki suara kuat dan berpengaruh dalam WTO, karena ke-7 negara ini menjadi penopang utama perdagangan dunia, sementara 145 negara lainnya hanya pemain pinggiran yang tidak memiliki suara atau pun pengaruh dalam pengambilan keputusan dalam sidang-sidang WTO. Dan kedua, adanya keingingan negara-negara industri baru seperti China, India, Brazil dan Australia yang ingin masuk dalam lingkaran negara-negara industri maju konvensional seperti AS, Uni Eropa dan Jepang, namun langkah ke-4 negara-negara industri baru itu tampaknya tidak mendapat restu dari para pendahulunya.

Dalam konteks kegagalan perundingan WTO di Jenewa, negara-negara maju cenderung menyalahkan India sebagai penyebabnya, karena India dinilai tetap bersikeras menuntut penambahan pajak yang tinggi bagi produk-produk impor negara-negara maju yang masuk ke pasar local. Alasannya, untuk melindungi produksi pertanian dalam negerinya. Sementara, AS menginginkan pembukaan pasar India (pasar terbesar kedua setelah China di Asia) seluas-luasnya bagi produk-produk pertaniannya tanpa hambatan tariff dengan alasan prinsip kebebasan perdagangan.

Disisi lain, India tetap bersikeras ingin menaikan pajak dan tariff bagi komoditas impor produk-produk pertanian dari negara-negara maju dengan alasan untuk melindungi produksi pertanian dalam negeri. Jalan tengah yang diusulkan Ketua WTO yang membolehkan India menaikan tariff bea masuk jika impor negara itu meningkat 40 persen, masih ditolaknya. India beralasan, prosentase itu terlalu tinggi, selain itu Pemerintah AS dan Eropa juga masih mensubsidi para petaninya, sehingga daya serap pasar AS dan Eropa sangat kecil terhadap produk-produk impor negara-negara berkembang, disamping harga produk-produk Eropa lebih murah dari produk sejenisnya di India karena disubsidi, sehingga jika dibiarkan masuk, maka akan membuat para petani India bangkrut.

Membesarnya peran WTO dalam perdagangan dunia dan lokal semakin membuktikan bahwa badan perdagangan ini merupakan batu loncatan bagi kekuatan-kekuatan kapitalis untuk menguasai perdagangan global, padahal pada awal berdirinya WTO berkomitmen menjadi pelindung bagi kepentingan negara-negara miskin. Pembesaran peran WTO ini telah menyebabkan separuh penduduk dunia saat ini hidup dibawah garis kemiskinan, sementara 90 persen dari investasi di negara-negara berkembang dikuasai negara-negara maju. Negara-negara maju juga telah mendapatkan 97 % dari hak istimewa investasi global. Dengan prosentase itu, saat ini 80 % dari total investasi di negara-negara berkembang berada di tangan perusahaan-perusahaan raksasa Eropa dan AS.

Jika keanggotaannya negara-negara berkembang dan miskin dalam WTO justru semakin memperpuruk kondisi ekonomi lokalnya dengan membanjirnya produk-produk negara-negara maju memasuki pasar nasional, maka apa manfaatnya mempertahankan eksistensi organisasi ini. Jadi sudah saatnya negara-negara Islam dan berkembang untuk mengambil pelajaran dari keberadaan WTO selama ini. Tidak ada satu tindakan yang tepat kecuali secara bersama-sama keluar dari WTO dan meneriakan suara yang lantang menolak perdagangan bebas, karena faktanya organisasi WTO cenderung mengakomodir kepentingan ekonomi dan bisnis negara-negara industri maju dan menjadikan negara-negara berkembang hanya sebagai konsumen bagi produk-produk negara-negara maju, lantas siapakah yang akan menyusul keberanian India melawan hegemoni kekuatan kapitalis dunia? [suara islam]

Tidak ada komentar: