Secara awam, ada sebuah pertanyaan yang sifatnya umum; sejak kapan pastinya bulan Ramadhan itu ada, dan sejak kapan pastinya puasa Ramadhan disyari’atkan, sehingga kedua perkataan itu mengaitkan syari’at dengan inti ma’nanya sebagai “panas, kering atau haus”? Dan sejak kapan puasa diberlakukan kepada umat manusia? Bagaimana pula dengan puasa-puasa terdahulu yang dilakukan tidak di bulan Ramadhan?
Di dalam ayat Al-Qur’an, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 183 – 184,
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu . . .”
Ayat ini turun tanpa sebab tertentu, sebagaimana terjadi pada kebanyakan ayat-ayat ahkam –ayat yang berkenaan dengan hukum–, yang turun setelah ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi pada Nabi Muhammad saw atau para shahabat.
Kandungan ayat-ayat dalam surah Al-Baqarah ini adalah surah yang turun ketika Nabi Muhammad saw di Madinah (Madani) sebagai disebutkan sebuah informasi yang menyatakan “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”.
Pemahaman dari ayat ini di antaranya ada dua persoalan pokok yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat “sebagaimana diwajibkan”. Ini menjadi persoalan karena munculnya pertanyaan; apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa di bulan Ramadhan, atau (kedua) kesamaan itu hanya meliputi hal syari’at berpuasa saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain.
Titik utama dari persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dimotori oleh Sa’id bin Jabir ra (w. 95 H), yang cenderung mengartikan hukum tasybih (penyerupaan atau penyamaan) itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syari’at tersebut, walaupun telah menjadi ‘sejarah’ serta tidak dilakukan di bulan Ramadhan yang sudah dikenal.
Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT tentang bermacam-macamnya syari’at bagi masing-masing umat manusia, “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu --maksudnya: umat Nabi Muhammad saw dan umat-umat yang sebelumnya--, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” [QS 5 Al-Maa’idah: ayat 48].
Dan pendapat yang kedua lebih terfokus pemahaman pada lamanya hari berpuasa dan bulan yang diwajibkannya berpuasa. Pendapat kedua ini mengarahkan perhatiannya kepada ayat selanjutnya pada surah Al-Baqarah ayat 184, yang berbunyi, “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.” [ayyâman ma’dûdât]. Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadhan sebagaimana kaum muslimin melakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu.
Dasar pendapat ini tentu banyaknya riwayat yang menjelaskan tentang hal itu, yang antara lain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar ra (w. 73 H), sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir (701 – 774 H) yang dalam tafsirnya memuat, bahwa Nabi saw bersabda “Puasa bulan Ramadhan telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat sebelum kamu”.
Keterangan pada pendapat yang kedua ini masih terjadi ikhtilaf (perbedaan), apakah selama “beberapa hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât] berpuasa —yang diwajibkan pada kaum dahulu itu— adalah berupa sebulan penuh dalam Ramadhan atau bulan-bulan lainnya?
Terhadap pendapat yang kedua ini, intinya memuat ikhtilaf dua pendapat, pertama menyatakan bahwa puasa yang disyari’atkan pada ummat terdahulu adalah berupa puasa selama tiga hari pada setiap bulan. Abdullah bin ‘Abbas sa (w. 69 H) mengatakan, ”Syari’at sebelumnya adalah puasa tiga hari setiap bulan, lalu syari’at ini di-nasakh dengan syari’at yang baru, melalui surah Al-Baqarah ayat 185” (Tafsîr Zâdl Mashîr). Pendapat yang kedua mengklaim bahwa “hari-hari tertentu” yang dimaksud adalah bulan Ramadhan itu sendiri. Jadi, pada bulan Ramadhan jugalah umat-umat dahulu diwajibkan berpuasa.
Al-Suday menyatakan bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syari’at puasa di bulan Ramadhan, tetapi karena mereka merasakan berat, maka mereka kemudien merubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarir (224 – 310 H) secara lebih berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syari’at puasa di bulan Ramadhan bagi Nasrani (Tafsîr ath-Thabari).
Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syari’at puasa di bulan Ramadhan, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihabuddin Al-Âlusi (w. 1270 H), penulis Tafsîr Ruhul Ma’âni, merupakan klaimnya bahwa hari itu adalah hari tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di laut Merah.
Perbedaan kedua –dalam menelaah ayat syari’at puasa itu– adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud adalah orang-orang ”ahlul kitâb”, yaitu mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam (Yahudi dan Nasrani). Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasranilah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad saw.
Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syari’at puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. “Kemudien di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”. Sampai saat ini di antaranya belum ditemukan keterangan-keterangan lain di kitab Perjanjian yang menerangkan lebih jauh tentang puasa tersebut.
Selain itu dalam konteks sejarah yang lain, syari’at puasa nampaknya benar-benar menjadi syari’at setiap ummat. Sayyidah ‘Aisyah radliyallaau ’anha menceritakan –seperti yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah– bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Asyura, walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad saw, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Puasa di bulan ‘Asyura masih disyari’atkan tetapi berada dalam status sunnah.
Juga masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syari’at puasa pada ummat dahulu. Ad-Dlahâk, dalam riwayat Ibnu Abi Hatim mengatakan, bahwa puasa pertama kali disyari’atkan di zaman Nabi Nuh ’alaihis salam, dan masih tetap berlangsung hingga zaman nabi Muhammad saw. Syihabuddin Al-Alusi (w. 1270 H), penulis Tafsir Ruhul Ma’âni, dengan dasar hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar itu, lebih percaya bahwa puasa Ramadhan disyari’atkan sejak Nabi Adam ’alaihis salam. Az-Zamakhsari (467 – 538 H) melalui telaahnya atas asal usul bulan Ramadhan juga menegaskan bahwa puasa adalah amal ibadah yang sudah lama [‘Ibaadah Qadiimah].
Dengan melihat dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syari’at yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain –yang semuanya telah disinggung di atas, nampak jelas bahwa “puasa pada bulan Ramadhan” telah disyari’atkan kembali kepada manusia – tidak hanya kepada ummat Muhammad saw– setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu.
Hal ini mafhumnya lebih bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhammad saw adalah meluruskan dan memperkuat kembali syari’at-syari’at dari Allah yang –sebagaimana difirmankan di dalam Al-Qur’an– telah ditahrif atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Demi pelurusan dan penguatan syari’at pada era Islam saat ini berkembang melahirkan dugaan dari para sarjana Barat, bahwa syari’at agama Islam tidaklah murni melainkan mengadopsi dari agama-agama sebelumnya. Inilah yang akhirnya banyak kaum muslim terjebak dalam pemurtadan oleh pemahaman Barat.
Ikhwal mengenai kata Ramadhan, sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi saw di atas –riwayat Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu anhu– dan juga surat Al-Baqarah ayat 185, dirasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadhan. Yang maksudnya adalah, ketika Al-Qur’an atau Nabi Muhammad saw menyebut kata Ramadhan, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif. Yang artinya dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti qaidah-qaidah gramatikal bahasa Arab.
Inti dari singkat penjelasan di atas adalah bisa difahami dan memastikan pula bahwa bulan Ramadhan itu ada, setidaknya sejak syari’at puasa diturunkan kepada ummat manusia. Karena, arti Ramadhan itu sendiri adalah waktu dan/atau keadaan suatu hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadhan, yaitu saat yang panas, kering dan haus.
Demikianlah sekedar telaahan untuk menambah pengetahuan bahwa syari’at puasa memang sudah menjadi syari’at bagi setiap ummat manusia. Dan di antara sekian macam syari’at, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untukKu, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga dengan pernyataan Allah SWT itu, Imam al-Qurthubi (627 – 671 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa merupakan (komunikasi) rahasia antara hamba dengan Tuhannya’. Sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim ‘alaihis salam, Taurat untuk Musa ‘alaihis salam, Injîl untuk Isa ‘alaihis salam dan Al-Qur’an pun turun pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar