Rabu, 08 Oktober 2008

Memaafkan dan Melupakan, Bisakah?

Memaafkan bukan hal mudah untuk dilakukan. Apalagi jika peristiwa yang menyakitkan hati didalangi orang terdekat yang sangat kita cintai.
Rasanya lebih mudah memaafkan seorang musuh bebuyutan dibandingkan memaafkan orang tercinta, namun mengkhianati. Kesalahan yang dilakukan orang tercinta umumnya melibatkan lebih banyak emosi, merusak kepercayaan, dan menghancurkan mimpi-mimpi yang telah dibangun bersama.

Ambillah maaf dan suruhlah yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang jahil.
[QS [7] Al-A'raf : 199]

Tulus memaafkan rasanya mustahil. “Saya sudah memaafkan,” begitu selalu kata-kata terucap. Tapi kerap berbagai peristiwa menyakitkan yang terjadi muncul kembali dalam ingatan mengembalikan kemarahan. Padahal menyimpan rasa sakit hati dan dendam tak hanya menghindari penyelesaian masalah, namun juga menimbun kemarahan dan menghasilkan stres yang berkepanjangan, serta memerangkap diri dalam kepahitan yang tak berkesudahan.

Hal ini terbukti dalam sebuah penelitian yang dipimpin Everett Worthington, Ph D, profesor dan kepala departemen Psikologi di Virginia Commonwealth University yang menjadi executive director dari sebuah kampanye penelitian khusus Forgiveness yang dimuat di majalah Newsweek tahun lalu. Penelitian melibatkan 20 orang yang memiliki hubungan yang menyenangkan dengan pasangan dibandingkan dengan 20 orang yang memiliki masalah dalam hubungan dengan pasangan. Ternyata 20 orang terakhir memiliki kadar hormon kortisol atau hormon yang berhubungan dengan masalah ketahanan tubuh lebih tinggi. Kemarahan dan dendam juga menimbulkan konsekuensi pada tubuh, antara lain meningkatnya tekanan darah, perubahan hormon yang berhubungan dengan masalah-masalah jantung, serta ketahanan tubuh dan masalah di fungsi syaraf serta kemampuan mengingat. Ini menunjukkan bahwa rasa marah dan sakit hati dapat merugikan orang itu sendiri secara fisik dan emosi.

Padahal memaafkan secara tulus berarti berani melepas berbagai perasaan negatif, seperti kemarahan dan rasa sakit yang selama ini membebani untuk dapat melangkah maju. Orang yang masih menyimpan berbagai perasaan tersebut berarti membiarkan diri untuk terperangkap di masa lalu karena enggan melangkah ke masa kini untuk dapat menghadapi masa depan. Meski memang sulit, namun dengan niat, maka semua dapat diupayakan.

Seperti contoh ayat al-A’râf di atas terdapat pesan; “Hai Nabi Muhammad Saw, ambillah maaf,” atau dapat diartikan sebagai jadilah pemaaf. Maaf, yang diterjemahkan dari bahasa Arab berarti al-‘afwu dalam hal ini bermakna sebagai meninggalkan sesuatu dan memintanya, atau juga berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah [memaafkan]. Kata ini juga berarti habis tiada berbekas. Sehingga memaafkan berarti; luka yang terdapat di hati diobati dan kemarahan serta kejengkelan akibat perlakuan buruk dihapus sehingga tidak berbekas. Bahkan Nabi Saw pun dipesankan agar dapat memaafkan seseorang hingga terhapus tak berbekas, yang merupakan buah dari akhlak mulia dan budi pekerti luhur di dalam Islam. [sumber:alifmagz]

Tidak ada komentar: