Menarik apa yang dikemukakan oleh Moh. Arifin Purwakananta, Direktur Program Dompet Dhuafa, Ketua Presidium Gerakan Zakat untuk Indonesia, dalam tulisannya di detik Ramadhan (baca : Zakat Tidak Untuk Disalurkan) yang dipublish Sabtu, 27/09/2008 10:48 WIB.
Namun paradigma beliau dalam artikel itu tidak saya sepakati. Apalagi judul artikel tersebut.
Dewasa ini sebahagian orang memang tidak lagi menganggap zakat sebagai sebuah ibadah yang mahdhah (murni). Anggapan seperti ini justru menggeser nilai zakat tidak lagi sejajar dengan ibadah sholat, shaum, haji, berdoa, dll. Padahal Para ulama telah mengklasifikasikan zakat sebagai bagian dari ibadah mahdhah. Sebagaimana ibadah yang lain, seperti shalat misalnya, zakat juga mempunyai ketentuan khusus; baik menyangkut wajib zakat (muzakki), yang berhak menerima (mustahiq), pemungut (‘âmil), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, waktu pelaksanaannya, hingga kadar dan ukurannya. Karena itu, hukum-hukum ibadah itu bersifat tawqîfiyyah, menjadi otoritas penuh Allah.
Dalam ibadah tidak ada ‘illat (alasan hukum); misalnya, mengapa zakat fitrah itu—menurut sebagian mazhab—hanya boleh dibayar dengan jenis makanan tertentu dan tidak boleh digantikan dengan yang lain; mengapa zakat mal hanya diwajibkan atas harta tertentu, seperti hewan ternak, yaitu unta, lembu dan kambing, atau tanaman seperti sya'îr (gandum), khinthah, tamr (kurma kering), dan zabîb (anggur yang dikeringkan), atau mata uang, yaitu emas dan perak, ataupun harta perniagaan; mengapa zakat fitrah harus ditunaikan setiap tahun di bulan Ramadhan; mengapa zakat mal selain tanaman dikeluarkan setiap setahun sekali, sedangkan tanaman setiap panen, ketika masing-masing telah mencapai nishâb? Semua ini tawqîfiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah, tidak disertai ‘illat (alasan hukum) dan ma‘lûl (efek hukum).
Karena itu, persoalan zakat adalah persoalan yang sepenuhnya harus dikembalikan kepada Allah, yang berarti harus merujuk pada dalil syariat, atau harus manshûs (dinyatakan di dalam nash).
Pandangan seperti Moh. Arifin Purwakananta yang menyatakan pengelolaan dana zakat haruslah produktif, dengan kata lain, paradigma zakat harus diubah, dari paradigma konsumtif, menjadi produktif umumnya digagas oleh para praktisi dan aktivis Muslim yang berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi perekonomian umat Islam dewasa ini. Mereka mungkin berfikir jika dana tersebut dikelola secara produktif, misalnya diinvestasikan atau dikembangkan melalui usaha bisnis tertentu, tentu bisa dikembangkan dan akan menjadi sumber dana yang luar biasa sehingga bisa digunakan untuk menyelesaikan problem kemiskinan yang melilit umat Islam!
Pengelolaan (tasharruf) zakat seperti ini sebenarnya tidak dibangun sedikitpun berdasarkan nash syariat, baik al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, maupun Qiyas; tetapi murni menggunakan logika maslahat. Logika maslahat—yang notabene adalah logika akal—jelas tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Apalagi logika tersebut dibangun berdasarkan pemahaman yang salah terhadap problem kemiskinan yang menimpa umat Islam saat ini, yang seolah-olah dianggap sebagai problem individual semata. Padahal persoalan kemiskinan umat Islam atau rakyat sebuah negara adalah problem yang tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan di negara tersebut. Penyebabnya adalah Kapitalisme dan Sosialisme.
Mengapa pengelolaan zakat tidak menyelesaikan masalah kemiskinan? Alasannya adalah :
Pertama, Mustahik zakat telah ditentukan golongannya. Dan fakir miskin hanyalah sebagian dari golongan orang yang berhak mendapatkan harta zakat. Masih ada 6 golongan lain yang berhak menndapatkan harta zakat. (Q.S. At-Taubah : 60)
Kedua, meskipun fakir miskin ini sudah tidak ada lagi, zakat tetap harus dikeluarkan (dipungut) dari harta para mustahik (ingat riwayat amil zakat zaman khalifah Umar bin Abd Aziz yang mengembalikan harta zakat karena sudah tidak ada lagi mustahik di suatu wilayah)
Ketiga, Islam mempunyai metode tersendiri untuk menyelesaikan masalah kemiskinan. Bukan dengan zakat semata-mata, melainkan dengan menerapkan syariah Islam yang termasuk didalamnya sistem ekonomi islam, yang diantaranya menjamin terpenuhinya kebutuhan mendasar warga negara, menjamin distribusi harta, melarang riba serta mengatur kepemilikan sesuai dengan haknya (individu, umum, dan negara). Disamping itu zakat merupakan ibadah yang masuk dalam konteks individu, sedangkan kemiskinan lebih merupakan akibat dari sistem yang berlaku (sistemik).
Penuntasan kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya semata-mata dengan dana zakat, meskipun dengan cara memproduktifkannya. Masalah seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dsb adalah tanggung jawab penguasa yang untuk memenuhinya bukan diambil dari harta zakat tetapi dari penghasilan lain negara. Dalam literatur Islam dananya diambil dari baitul maal non-zakat.
Namun paradigma seperti ini hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam, bukan sistem kapitalis seperti yang diterapkan saat ini, ataupun sosialis. Jadi upaya untuk menghadirkan kembali sistem islam sekaligus merupakan upaya menuntaskan kemiskinan dan masalah-masalah lain sesuai petunjuk Allah dan sunnah rasulNya.
Jadi, seharusnya Zakat Harus Disalurkan Sesuai Ketentuan Syara’