Rabu, 11 Juni 2008

Dasar Negara Bukan Pancasila ?

Selama ini kita hanya menerima begitu saja pernyataan bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila tanpa mencoba bersikap kritis kebenarannya, dimana hal itu dinyatakan dalam konstitusi kita. Apakah ini juga membenarkan teori bahwa apa yang telah menjadi bagian keseharian kita biasanya luput dari sikap kritis karena sudah dianggap benar?

Sampai akhirnya kita disadarkan oleh pernyataan Dr. Eggi Sudjana, SH, MSi yang menyatakan bahwa dasar negara kita secara teks legal konstitusional adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh UUD 1945, bukan Pancasila seperti selama ini yang kita percayai. Menurut Pembukaannya, yang dimaksud adalah Allah Yang Mahakuasa.

Bahkan seorang Abdul Muqsith, pegiat JIL, tidak bisa berkomentar atas pernyataan itu dalam sebuah talk show di salah satu stasiun TV partikelir (lihat eramuslim.com). Karena, seperti halnya kita yang sering terperangkap doktrin, dia juga berpandangan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan berdasarkan Al-Quran dan hadits, tetapi berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Dalam UUD 1945, Pasal 29 ayat 1 memang menyebutkan :
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Lalu siapakah tuhan yang dimaksud dalam pasal ini, jawabannya menurut Eggi adalah Allah. Karena di pembukaan UUD 45 memang telah disebutkan secara tegas tentang kemerdekaan Indonesia yang merupakan berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa. Yang namanya batang tubuh dengan pembukaan tidak boleh terpisah-pisah atau berlawanan. Kalau di batang tubuh yaitu pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Tuhan itu bukan sekedar Maha Esa, juga bukan berarti tuhannya semua agama. Tetapi tuhannnya umat Islam, yaitu Allah SWT.

Hal itu lantaran secara tegas Pembukaan UUD 45 menyebutkan lafadz Allah. Dan hal itu tidak boleh ditafsirkan menjadi segala macam tuhan, bukan asal tuhan dan bukan tuhan-tuhan buat agama lain. Tuhan Yang Maha Esa di pasal 29 ayat 1 itu harus dipahami sebagai Allah SWT, bukan Yesus, bukan Bunda Maria, bukan Sidharta Gautama, bukan dewa atau pun tuhan-tuhan yang lain.

Jadi, apakah jargon yang selama ini kita pegang harus dikoreksi? Silahkan menjawabnya dengan jujur.

"dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik"
(Q.S. Al-Maa’idah : 49)

Tidak ada komentar: