Selasa, 29 Apr 08 09:42 WIB
“Bu… kapan suara bom itu berhenti?”
“Bu… kapan suara bom itu berhenti?”
“Bu... apakah kita bisa bermain di pantai dan berenang-renang di sana?”
“Bu… kita pasti bisa bermain sepeda lagi di sekitar rumah”
“Bu… seperti kata Ibu, kita pasti bisa naik mobil menembus pengepungan ini. Benar kan, bu?”
Pertanyaan demi pertanyaan itu mengisi benak dan mimpi anak-anak kecil di Ghaza. Mereka bertanya dan bertanya pada orang tua mereka, kapan mereka bisa bersuka cita? Apalagi, meski tak terlalu mengerti, setidaknya mereka turut mendengar bila ada perwakilan Ghaza yang berangkat ke Kairo Mesir untuk membahas upaya gencatan senjata. Itu tandanya, bagi mereka, ada harapan kebahagiaan setelah itu.
Hanaa, gadis cilik usia lima tahun berteriak gembira, “Akhirnyaa.. aku bisa tidur dengan tenang.. “
Adiknya, Shalih yang berusia 4 tahun menyambut, “Kita bisa bermain dan bersenang-senang lagi…”
Sang ibu kemudian menjawab kebahagiaan itu, “Ayo.. sekarang tidur dulu.. biar besok pagi kita dengarkan bagaimana berita tentang gencatan senjata… semoga saja apa yang kalian harapkan terwujud..“
Malam itu, keluarga Muslim di Ghaza pun terlelap dalam mimpi indahnya tentang suasana yang lebih aman.

Sang ayah, dengan lirih berkata, “Mereka merampas semua keluargaku... rumahku sekarang hancur.. tak ada penghangat di musim dingin.. semuanya hilang. Mereka semalam bermimpi tentang gencatan senjata dan pencabutan isolasi Ghaza. Mereka juga sudah merencanakan hari libur yang indah. Mereka ingin hidup dengan aman. Tapi kedengkian dan kebencian Israel telah merampas mereka dan mimpi-mimpi mereka. Mereka semuanya meninggal.. “
Hari itu, Bait Hanun, menyelimuti jasad para syuhadanya. Duka kembali menghangat di perkampungan pejuang Palestina yang tak mau tunduk dengan keinginan Israel dan AS yang terbukti haus darah. Ya, mimpi tentang gencatan senjata, dijawab dengan pembantaian..
Inna lillah..
1 komentar:
ayna antum ya . . . mu'minuun?
ayna antum ya . . . muslimuun?
ayna antum yaa mujahiduun?
Posting Komentar