Rabu, 24 September 2008

Ketupat Lebaran

Ketupat selalu identik dengan yang namanya Lebaran. Tetapi sebenarnya apa sih yang membuat Ketupat menjadi tradisi yang selalu ada waktu Lebaran?

Filosofi Ketupat

Pertanyaan yang ada sekarang, kenapa menggunakan Ketupat? Bagi masyarakat Jawa, Ketupat memiliki arti tersendiri, selain dari nama dan bentuk, proses pembuatan Ketupat sendiri memiliki makna dan arti dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Mulai dari nama ...

Ketupat dalam bahasa jawa biasa disebut kupat, dalam salah satu website, disebutkan bahwa adanya tradisi makan Ketupat di luar (setelah) hari Lebaran, yang biasanya dinamakan dengan hari Raya Ketupat, disebut sebagai tradisi Kupat Luar. Kupat ini berasal dari kata Pat atau Lepat (kesalahan) dan "Luar" yang berarti di luar, atau terbebas atau terlepas, dengan harapan bahwa orang yang memakan Ketupat akan kembali diingatkan bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari kesalahan, sehingga masyarakat diharapkan akan saling memaafkan dan saling melebur dosa dengan simbolisasi tradisi kupat luar.
Di salah satu sumber lain, Ketupat berasal dari kerotoboso (atau bahasa singkatan) dari kata Ngaku Lepat yang berarti mengakui kesalahan. Tradisi Ketupat diharapkan akan membuat kita mau mengakui kesalahan kita sehingga membantu kita untuk memaafkan kesalahan orang lain juga. Sehingga, dosa yang ada akan saling terlebur.

Bentuknya ...

Pada umumnya, dikenal dua bentuk Ketupat, dan bentuk yang paling sering dikenal adalah bentuk Ketupat yang seperti pelajaran di SD dulu yaitu belah ketupat! Bentuk persegi seperti ini dapat diartikan di masyarakat Jawa sebagai perwujudan dari kiblat papat lima pancer, dengan berbagi penjelasan dan berbagai cara memandang. Ada yang memaknai kiblat papat lima pancer ini sebagai keseimbangan alam: 4 arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara. Akan tetapi semua arah ini bertumpu pada satu pusat. Bila salah satunya hilang, keseimbangan alam akan hilang. Begitu pula hendaknya manusia, dalam kehidupannya, ke arah manapun dia pergi, hendaknya jangan pernah melupakan pancer: Tuhan yang Maha Esa.

Kiblat papat lima pancer ini dapat juga diartikan sebagai 4 macam nafsu manusia dalam tradisi jawa: amarah, aluamah, supiah, dan mutmainah. Amarah adalah nafsu emosional, aluamah adalah nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah atau bagus, dan mutmainah adalah nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini adalah empat hal yang kita taklukkan selama berpuasa, jadi dengan memakan Ketupat, disimbolkan bahwa kita sudah mampu melawan dan menaklukkan hal ini.

Bahan pembuatnya ...

Ketupat merupakan makanan dengan isi beras, berselongsong janur atau daun kelapa yang berwarna agak kekuningan. Salah satu cara mematangkan Ketupat adalah dengan merebusnya dalam santan, atau, jika Ketupat direbus dalam air biasa, akan dihidangkan bersama makanan bersantan
1. Janur kuning.
Janur kuning ini adalah lambang penolakan bala. Di Kraton Surakarta, ada salah satu aksesoris wajib yang harus dikenakan, dan berbentuk kain panjang berwarna kuning. Kain ini disebut samir. Samir ini merupakan penolak bala, nah, Janur kuning adalah simbol dari samir tersebut.
2. Beras.
Sebagai simbol kemakmuran, beras dianggap sebagai doa agar kita semua diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya.
3. Santan.
Santan, atau dalam bahasa jawa santen, berima dengan kata ngapunten yang berarti memohon maaf. Salah satu pantun yang terkenal yang menyebut keberadaan Ketupat dan santan adalah:
Mangan kupat nganggo santen.
Menawi lepat, nyuwun pangapunten.
(Makan Ketupat pakai santan.
Bila ada kesalahan mohon dimaafkan.)
Tradisi pembuatannya ...

Ketupat dimulai dengan pembuatan selongsongnya. Selongsong ini dibuat biasanya mendekati lebaran, dan dibuat beramai-ramai, biasanya oleh para wanita dengan jari-jari yang terampil dan cekatan. Pembuatan yang beramai-ramai ini memeriahkan datangnya lebaran, dan menunjukkan keakraban di antara penduduk pada saat itu. Hal inilah yang membuat keberadaan Ketupat, selain sebagai makanan khas, juga sebagai pengikat antar penduduk karena adanya interaksi sosial antar penduduk yang ada.

Selasa, 09 September 2008

Berbuka Tanpa Balas Dendam

Bulan puasa cenderung akrab dengan menu-menu "luar biasa" yang tak ada di hari-hari biasa. Sebut saja kolak pisang, es sirup, kue-kue manis, dan lainnya. Padahal, di sisi lain banyak orang berharap berat badannya bisa turun beberapa kilo setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.
Sayangnya, banyak orang tak sadar mereka justru gagal menurunkan berat badan karena karena “balas dendam” saat berbuka puasa atau Lebaran. Nah, agar tubuh tetap ramping dan ideal setelah bulan puasa lewat, dr. Titi Sekarindah, M.S., Sp.GK, ahli gizi RS Pertamina, Jakarta memberikan beberapa kiatnya.
1. Saat mulai berpuasa, sebaiknya Anda memantapkan diri, di bulan suci ini Anda akan memulai program penurunan berat badan. Percaya atau tidak, dengan berpuasa jadwal makan Anda akan lebih teratur.
2. Pastikan Anda memiliki dua kali jadwal makan besar, dan sisanya hanya untuk selingan saja.
3. Bila berbuka sebaiknya memilih makanan yang tidak terlalu banyak konsumsi gulanya. Bisa berupa potong buah-buahan, kolak dengan sedikit kuahnya, atau sepotong kue manis saja.
4. Usahakan, jangan makan malam terlalu larut. Makan malamlah segera setelah berbuka dan salat maghrib. Jika makan terlalu malam, akan merusak selera saat sahur. Dan bila makan sahurnya kurang, esok harinya tentu Anda akan merasa lapar sekali sehingga saat berbuka biasanya akan makan lebih banyak.
5. Batasi konsumsi gorengan. Paling tidak, cukup satu saja menu gorengan dalam sehari dan perbanyak mengolahnya dengan cara dipanggang, rebus, ungkep, atau pepes.
6. Konsumsi sayur yang bening-bening saja. Sebisa mungkin kurangi penggunakan santan dalam memasak.
7. Tetap konsumsi 8 gelas air sehari agar tidak dehidrasi dan lemas. 3 gelas saat sahur (1 gelas begitu bangun, 1 gelas saat makan, dan 1 gelas saat mendekati imsak). Dan 5 gelas di antara berbuka hingga menjelang sahur.
8. Konsumsi susu non-fat saat sahur dan saat selingan malam. Agar kebugaran tubuh tetap terjaga.

Poligami Bikin Pria Panjang Umur?

Ingin hidup berumur panjang?
Cobalah untuk memiliki istri kedua, atau bahkan lebih.

Anjuran ini sepertinya mengada-ada, tetapi bisa jadi ada benarnya apabila menyimak hasil kesimpulan sebuah riset yang dilakukan ahli ekologi Inggris, Virpi Lummaa. Ilmuwan dari Universitas Sheffield itu belum lama ini mempresentasikan temuannya tentang hubungan poligami dan umur panjang dalam pertemuan tahunan International Society for Behavioral Ecology’di Ithaca, New York, Amerika Serikat.


Menurut hasil riset Lummaa yang juga dimuat majalah New Scientist, pria yang menganut poligami rata-rata memiliki usia lebih panjang di bandingkan mereka yang hanya beristri satu. Kesimpilan ini diambil setelah memperhitungkan beragam faktor seperti perbedaan status sosial ekonomi.


Riset menunjukkan, pria berusia di atas 60 tahun di 140 negara penganut poligami dengan derajat kehidupan bervariasi tercatat berusia 12 persen lebih panjang di bandingkan para pria yang tinggal di 49 negara yang dikenal kuat menganut monogami.


Lummaa menjelaskan, pria yang menjalani poligami bisa lebih panjang usianya kemungkinan karena faktor sosial dan genetika. Pria yang terus berjuang menghidupi anak-anak dan istrinya walau sudah memasuki usia 60 atau 70-an kemungkinan lebih baik dalam menjaga kebugaran dan kesehatannya.


Ini pun tidak terlepas dari tekad dan tanggung jawabnya untuk menafkahi anak-anak dan istiri-istrinya. Namun begitu, lanjut Lummaa, kekuatan evolusi yang terjadi selama ribuan tahun juga patut diperhitungkan sebagai penyebab panjangnya usia pria yang hidup dengan budaya poligami.


Dalam risetnya, Lummaa menggunakan data Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization). Ia bersama rekannya, Andy Russell, meneliti para pria di atas 60 tahun yang tinggal di 189 negara dan mengelompokkannya dalam empat skala yakni dari tingkat 1 untuk kategori sangat monogami hingga paling poligami untuk skala 4. Ia juga memperhitungkan produk domestik bruto setiap negara dan rata-rata pendapatannya guna meminimalisir pengaruh faktor kualitas nutrisi dan pelayanan kesehatan di negara-negara Barat yang menganut monogami.

Senin, 08 September 2008

Jangan Berbuka dengan Yang Manis

Pernah dengar kalimat `Berbuka puasalah dengan makanan atau minuman yang manis,’? Konon, itu dicontohkan Rasulullah saw. Benarkah demikian?


Dari Anas bin Malik ia berkata : “Adalah Rasulullah berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air." (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Nabi Muhammad Saw berkata : “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.”

Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat kurma, beliau berbuka puasa dengan air. Samakah kurma dengan `yang manis-manis’ ? Tidak. Kurma, adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate).

Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).

Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang manis? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis adalah ’sunnah Nabi’. Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan.

Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis. Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan (data di sini dan di sini). Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa `manisan kurma’, bukan lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan ekspornya. Sangat jarang kita menemukan kurma impor yang masih asli dan belum berupa manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin harganya menjadi sangat mahal.

Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak kesehatan?
Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu. Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan.

Mari kita bicara `indeks glikemik’ (glycemic index/GI) saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin cepat pula menghasilkan respons insulin.

Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat, akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks glikemiknya rendah.

Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak. Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari mereka.

Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks glikemiknya) , sehingga respon insulin dalam tubuh langsung melonjak. Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak.

Seorang sufi yang diberi Allah `ilm tentang urusan kesehatan jasad manusia mengatakan, bila berbuka puasa, jangan makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan dan bikin penyakit. Kenapa bukan kurma? Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia adalah `manisan kurma’, bukan kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya.

Kenapa nasi? Nasi adalah karbohidrat kompleks. Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh untuk menabung lemak juga rendah.

Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena puasa.

Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin terlihat seperti `buah pir’, penuh lemak di daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka dengan yang manis- manis adalah ’sunnah’, maka puasa bukannya malah menyehatkan kita. Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula. Karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya `rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.’

Jadi, “berbukalah dengan yang manis-manis” itu adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa atas hadits tentang berbuka diatas. Karena kurma rasanya manis, maka muncul anggapan bahwa (disunahkan) berbuka harus dengan yang manis-manis. Pada akhirnya kesimpulan ini menjadi waham dan memunculkan budaya berbuka puasa yang keliru di tengah masyarakat. Yang jelas, `berbukalah dengan yang manis’ itu disosialisasikan oleh slogan advertising banyak sekali perusahaan makanan di bulan suci Ramadhan.

Semoga tidak termakan waham umum `berbukalah dengan yang manis’. Atau lebih baik lagi, jangan mudah termakan waham umum tentang agama. Periksa dulu kebenarannya.

Tidak ada satu wadah pun yang diisi oleh Bani Adam, lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari, cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang bersumber dari Miqdam bin Ma’di Kasib)

So, masih mau makan yang manis-manis?!! [dari tulisan Herry Mardian, Yayasan Paramartha]

Selasa, 02 September 2008

Puasa = Bau Mulut?

Ada satu kondisi yang sering kali ditemui saat berpuasa, yakni bau mulut. Kondisi yang acap dipandang menganggu karena bisa membuat kepercayaan diri menurun itu memiliki nama ilmiah halitosis. Penyebab bau mulut sebenarnya sebagian besar berasal dari rongga mulut itu sendiri karena di dalamnya terdapat sejumlah gigi geligi, lidah, dan mukosa mulut lainnya.

Apabila kita tidak menjaganya, akan timbul kerusakan yang dapat mencetuskan kondisi bau mulut. Bau mulut dapat juga terjadi karena berkurangnya air liur sehingga timbul napas yang kurang sedap. Allah telah memberikan tubuh kepada kita dengan sedemikian sempurnanya. Untuk itu, kita harus selalu menjaganya agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.


Seperti kita ketahui tubuh kita ini merupakan satu kesatuan berbagai organ dan sistem tubuh yang terdiri dari mata, jantung, rongga mulut, dan organ lainnya. Rongga mulut adalah bagian dari tubuh yang memiliki peranan sangat penting karena di sanalah pintu pertama masuknya makanan yang akan dicerna oleh tubuh kita agar kita dapat beraktivitas dan melangsungkan hidup dengan baik. Kesehatan rongga mulut ini dapat dikatakan sebagai miniatur kesehatan seluruh tubuh kita. Terlebih pada saat berpuasa kesehatan rongga mulut jangan terlewatkan untuk dijaga.


Bau mulut merupakan kondisi yang dimiliki oleh setiap individu, namun derajatnya berbeda-beda dari yang tidak mengganggu sampai yang sangat mengganggu orang lain. Pada kondisi yang sudah sangat mengganggu itulah perlu dicari jalan keluarnya karena dapat mengganggu kegiatan kita dalam berkomunikasi dan beraktivitas.


Bau ini timbul karena senyawa volatile sulfur compound yang diproduksi oleh bakteri anaerob yang banyak berdiam pada gigi atau mukosa mulut yang rusak, seperti pada gigi geligi yang berlubang, sisa-sisa akar, karang gigi, peradangan gusi, nanah pada gusi atau mukosa mulut lainnya, tambalan yang sudah rusak dan tidak diperbaiki, berkurangnya air liur. Bau mulut juga bisa akibat seseorang menderita penyakit tertentu misalnya diabetes mellitus yakni terjadi pengurangan pasokan oksigen ke dalam mulut dan dapat menyebabkan perkembangbiakan kuman anaerob menjadi lebih banyak.


Apabila tidak segera dirawat dan kondisinya semakin parah tidak hanya bau mulut yang timbul, tetapi dapat menyebabkan kelainan pada bagian tubuh lain seperti pada organ mata, jantung, hidung, telinga, dan organ lainya. Kita dituntut cermat dalam mengetahui keadaan di rongga mulut kita dan segeralah mendapatkan perawatan apabila terdapat kerusakan atau kondisi yang tidak baik di dalam mulut.



Pencegahan


Kondisi bau mulut yang disebabkan kerusakan bagian-bagian rongga mulut ini akan bertambah buruk pada saat berpuasa disebabkan air liur banyak berkurang jumlahnya. Komponen-komponen yang terdapat dalam air liur turut menjaga kesehatan rongga mulut dan secara otomatis dapat mengurangi bau mulut.


Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat berpuasa untuk mengurangi dan mencegah bau mulut.
  • Agar gigi tetap terjaga kebersihannya, kegiatan menggosok gigi harus tetap dilakukan. Gosoklah gigi minimal sehari dua kali, yakni saat setelah sahur dan sebelum tidur pada malam hari.

  • Jangan lupa untuk menggosok lidah karena lidah terdiri dari papila-papila yang dapat menjadi tempat menempelnya makanan. Papila-papila itu merupakan rumah yang nyaman untuk perkembangbiakan bakteri-bakteri penyebab bau mulut.

  • Kumur-kumur setiap berwudu juga membantu mengurangi bau mulut karena air liur menjadi tidak terlalu pekat dan dirangsang peningkatan jumlahnya. Oleh karena itu pula, banyaklah minum air putih saat berbuka puasa, serta banyaklah mengonsumsi buah-buahan seperti jeruk, tomat, air kelapa, belimbing, dll.

  • Tindakan membersihkan karang gigi juga perlu dilakukan. Pembersihan karang gigi ini dapat banyak membantu mengurangi bau mulut karena bakteri anaerob penghasil senyawa yang berbau tidak sedap banyak tinggal di bagian yang banyak karang giginya. Semakin sempit ruang hidup bagi bakteri anaerob, semakin segar napas mulut kita.

  • Selain itu, segera tambal gigi geligi yang berlubang, juga perbaiki tambalan yang sudah rusak. Mintalah ke dokter gigi Anda untuk membuang sisa-sisa akar gigi yang masih ada karena sisa akar juga merupakan tempat yang nyaman untuk ditinggali bakteri anaerob.

  • Apabila Anda menggunakan gigi tiruan (palsu), jangan lupa untuk selalu membersihkannya.

  • Sebagai tindakan pencegahan, rajinlah memeriksakan diri ke dokter gigi minimal 6 bulan sekali. Upaya pencegahan ini akan sangat membantu dalam mendeteksi kerusakan yang terdapat di dalam rongga mulut lebih dini sebelum berkembang menjadi kerusakan yang lebih parah dan membutuhkan penanganan yang lebih sulit.

  • Lalu yang tak kalah penting, hindari kebiasaan merokok karena kandungan-kandungan dalam setiap batang rokok dapat memperburuk kondisi kesehatan mulut dan menyebabkan berkurangnya air liur.
Dengan menjalankan pola hidup sehat dan menjaga apa yang telah Allah SWT berikan, insya Allah kondisi tubuh kita akan tetap terjaga dengan baik. Semoga tips ini dapat bermanfaat dan membantu kita semua dalam menjalankan ibadah Puasa. Semoga ibadah Puasa kita diterima oleh Allah SWT. [drg. E. Fitriana Sari, dokter gigi di Poliklinik Daarut Tauhiid Bandung]

Puasa Zonder Lemas

Bulan puasa bagi sebagian orang akan sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya, terutama yang menjalankan ibadah puasa. Aktifitas yang banyak dan waktu tidur yang dikurangi mungkin menyebabkan sebagian orang menjadi lemas dan tidak bergairah. Bagaimana mengatasinya? Berikut tipsnya :
1. Makan sehat. Makanlah dengan menu seimbang, lengkap dengan karbohirat, lemak yang baik, protein, vitamin, minenal, dan serat. Perbanyak makan buah dan sayur.
2. Ada yang perlu dihindari. Hindari makanan mengandung gula tinggi, gorengan, dan kuning telur karena mengandung lemak buruk. Udang, cumi-cumi, kerang, kepiting, jeroan, otak, dan hati yang mengandung kolesterol tinggi, daging merah lebih baik dihindari. Perbanyak makan ikan dan daging ayam tanpa kulit.
3. Porsi cukup. Jangan "lapar mata" melihat banyak jajanan menjelang buka puasa. Atau "balas dendam" dengan terlalu banyak makan saat berbuka. Puasa artinya menahan diri dari segala nafsu.
4. Untuk diet. Idealnya, usai berpuasa berat akan turun 1-2 kg. Minimal, bagi pemilik berat badan ideal akan sama berat badannya. Bahkan bagi yang kegemukan, usai berpuasa seharusnya bisa turun hingga 3 kg.
5. Tetap olahraga. Lakukan olahraga ringan yang sifatnya maintenance, 1-1,5 jam menjelang berbuka puasa selama maksimal 30 menit saja.
6. Diteruskan. Fungsi puasa sebagai detoks akan lebih afdol jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, puasa seminggu satu atau dua kali.
[Intan Y. Septiani/kompas]