Rabu, 08 Oktober 2008

Zakat Harus Disalurkan Sesuai Ketentuan Syara’ (tanggapan atas tulisan)

Menarik apa yang dikemukakan oleh Moh. Arifin Purwakananta, Direktur Program Dompet Dhuafa, Ketua Presidium Gerakan Zakat untuk Indonesia, dalam tulisannya di detik Ramadhan (baca : Zakat Tidak Untuk Disalurkan) yang dipublish Sabtu, 27/09/2008 10:48 WIB.
Namun paradigma beliau dalam artikel itu tidak saya sepakati. Apalagi judul artikel tersebut.

Dewasa ini sebahagian orang memang tidak lagi menganggap zakat sebagai sebuah ibadah yang mahdhah (murni). Anggapan seperti ini justru menggeser nilai zakat tidak lagi sejajar dengan ibadah sholat, shaum, haji, berdoa, dll. Padahal Para ulama telah mengklasifikasikan zakat sebagai bagian dari ibadah mahdhah. Sebagaimana ibadah yang lain, seperti shalat misalnya, zakat juga mempunyai ketentuan khusus; baik menyangkut wajib zakat (muzakki), yang berhak menerima (mustahiq), pemungut (‘âmil), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, waktu pelaksanaannya, hingga kadar dan ukurannya. Karena itu, hukum-hukum ibadah itu bersifat tawqîfiyyah, menjadi otoritas penuh Allah.

Dalam ibadah tidak ada ‘illat (alasan hukum); misalnya, mengapa zakat fitrah itu—menurut sebagian mazhab—hanya boleh dibayar dengan jenis makanan tertentu dan tidak boleh digantikan dengan yang lain; mengapa zakat mal hanya diwajibkan atas harta tertentu, seperti hewan ternak, yaitu unta, lembu dan kambing, atau tanaman seperti sya'îr (gandum), khinthah, tamr (kurma kering), dan zabîb (anggur yang dikeringkan), atau mata uang, yaitu emas dan perak, ataupun harta perniagaan; mengapa zakat fitrah harus ditunaikan setiap tahun di bulan Ramadhan; mengapa zakat mal selain tanaman dikeluarkan setiap setahun sekali, sedangkan tanaman setiap panen, ketika masing-masing telah mencapai nishâb? Semua ini tawqîfiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah, tidak disertai ‘illat (alasan hukum) dan ma‘lûl (efek hukum).

Karena itu, persoalan zakat adalah persoalan yang sepenuhnya harus dikembalikan kepada Allah, yang berarti harus merujuk pada dalil syariat, atau harus manshûs (dinyatakan di dalam nash).

Pandangan seperti Moh. Arifin Purwakananta yang menyatakan pengelolaan dana zakat haruslah produktif, dengan kata lain, paradigma zakat harus diubah, dari paradigma konsumtif, menjadi produktif umumnya digagas oleh para praktisi dan aktivis Muslim yang berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi perekonomian umat Islam dewasa ini. Mereka mungkin berfikir jika dana tersebut dikelola secara produktif, misalnya diinvestasikan atau dikembangkan melalui usaha bisnis tertentu, tentu bisa dikembangkan dan akan menjadi sumber dana yang luar biasa sehingga bisa digunakan untuk menyelesaikan problem kemiskinan yang melilit umat Islam!

Pengelolaan (tasharruf) zakat seperti ini sebenarnya tidak dibangun sedikitpun berdasarkan nash syariat, baik al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, maupun Qiyas; tetapi murni menggunakan logika maslahat. Logika maslahat—yang notabene adalah logika akal—jelas tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Apalagi logika tersebut dibangun berdasarkan pemahaman yang salah terhadap problem kemiskinan yang menimpa umat Islam saat ini, yang seolah-olah dianggap sebagai problem individual semata. Padahal persoalan kemiskinan umat Islam atau rakyat sebuah negara adalah problem yang tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan di negara tersebut. Penyebabnya adalah Kapitalisme dan Sosialisme.

Mengapa pengelolaan zakat tidak menyelesaikan masalah kemiskinan? Alasannya adalah :
Pertama, Mustahik zakat telah ditentukan golongannya. Dan fakir miskin hanyalah sebagian dari golongan orang yang berhak mendapatkan harta zakat. Masih ada 6 golongan lain yang berhak menndapatkan harta zakat. (Q.S. At-Taubah : 60)
Kedua, meskipun fakir miskin ini sudah tidak ada lagi, zakat tetap harus dikeluarkan (dipungut) dari harta para mustahik (ingat riwayat amil zakat zaman khalifah Umar bin Abd Aziz yang mengembalikan harta zakat karena sudah tidak ada lagi mustahik di suatu wilayah)
Ketiga, Islam mempunyai metode tersendiri untuk menyelesaikan masalah kemiskinan. Bukan dengan zakat semata-mata, melainkan dengan menerapkan syariah Islam yang termasuk didalamnya sistem ekonomi islam, yang diantaranya menjamin terpenuhinya kebutuhan mendasar warga negara, menjamin distribusi harta, melarang riba serta mengatur kepemilikan sesuai dengan haknya (individu, umum, dan negara). Disamping itu zakat merupakan ibadah yang masuk dalam konteks individu, sedangkan kemiskinan lebih merupakan akibat dari sistem yang berlaku (sistemik).

Penuntasan kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya semata-mata dengan dana zakat, meskipun dengan cara memproduktifkannya. Masalah seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dsb adalah tanggung jawab penguasa yang untuk memenuhinya bukan diambil dari harta zakat tetapi dari penghasilan lain negara. Dalam literatur Islam dananya diambil dari baitul maal non-zakat.

Namun paradigma seperti ini hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam, bukan sistem kapitalis seperti yang diterapkan saat ini, ataupun sosialis. Jadi upaya untuk menghadirkan kembali sistem islam sekaligus merupakan upaya menuntaskan kemiskinan dan masalah-masalah lain sesuai petunjuk Allah dan sunnah rasulNya.
Jadi, seharusnya Zakat Harus Disalurkan Sesuai Ketentuan Syara’

Tips Memaafkan dan Melupakan

Meski memaafkan secara tulus tak mudah, namun beberapa cara di bawah ini patut dicoba:

  • Bayangkan kembali peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati secara lebih obyektif tanpa merasa menjadi korban dari perilaku orang yang Anda cintai. Coba berempati dengan membayangkan sudut pandang orang yang telah menyakiti Anda, misalnya bisa saja karena tersudut maka ia mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti Anda.
  • Pikirkan kesalahan-kesalahan yang pernah Anda lakukan dan ingat-ingat bagaimana perasaan Anda ketika Anda dimaafkan oleh orang lain akibat kesalahan tersebut.
  • Ketika sudah memutuskan untuk memaafkan, cobalah membuat komitmen dengan pernyataan Anda tersebut.
  • Jangan mengungkit kembali kesalahan orang yang Anda cintai, terutama jika mereka menunjukkan sikap yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki diri

Memaafkan dan Melupakan, Bisakah?

Memaafkan bukan hal mudah untuk dilakukan. Apalagi jika peristiwa yang menyakitkan hati didalangi orang terdekat yang sangat kita cintai.
Rasanya lebih mudah memaafkan seorang musuh bebuyutan dibandingkan memaafkan orang tercinta, namun mengkhianati. Kesalahan yang dilakukan orang tercinta umumnya melibatkan lebih banyak emosi, merusak kepercayaan, dan menghancurkan mimpi-mimpi yang telah dibangun bersama.

Ambillah maaf dan suruhlah yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang jahil.
[QS [7] Al-A'raf : 199]

Tulus memaafkan rasanya mustahil. “Saya sudah memaafkan,” begitu selalu kata-kata terucap. Tapi kerap berbagai peristiwa menyakitkan yang terjadi muncul kembali dalam ingatan mengembalikan kemarahan. Padahal menyimpan rasa sakit hati dan dendam tak hanya menghindari penyelesaian masalah, namun juga menimbun kemarahan dan menghasilkan stres yang berkepanjangan, serta memerangkap diri dalam kepahitan yang tak berkesudahan.

Hal ini terbukti dalam sebuah penelitian yang dipimpin Everett Worthington, Ph D, profesor dan kepala departemen Psikologi di Virginia Commonwealth University yang menjadi executive director dari sebuah kampanye penelitian khusus Forgiveness yang dimuat di majalah Newsweek tahun lalu. Penelitian melibatkan 20 orang yang memiliki hubungan yang menyenangkan dengan pasangan dibandingkan dengan 20 orang yang memiliki masalah dalam hubungan dengan pasangan. Ternyata 20 orang terakhir memiliki kadar hormon kortisol atau hormon yang berhubungan dengan masalah ketahanan tubuh lebih tinggi. Kemarahan dan dendam juga menimbulkan konsekuensi pada tubuh, antara lain meningkatnya tekanan darah, perubahan hormon yang berhubungan dengan masalah-masalah jantung, serta ketahanan tubuh dan masalah di fungsi syaraf serta kemampuan mengingat. Ini menunjukkan bahwa rasa marah dan sakit hati dapat merugikan orang itu sendiri secara fisik dan emosi.

Padahal memaafkan secara tulus berarti berani melepas berbagai perasaan negatif, seperti kemarahan dan rasa sakit yang selama ini membebani untuk dapat melangkah maju. Orang yang masih menyimpan berbagai perasaan tersebut berarti membiarkan diri untuk terperangkap di masa lalu karena enggan melangkah ke masa kini untuk dapat menghadapi masa depan. Meski memang sulit, namun dengan niat, maka semua dapat diupayakan.

Seperti contoh ayat al-A’râf di atas terdapat pesan; “Hai Nabi Muhammad Saw, ambillah maaf,” atau dapat diartikan sebagai jadilah pemaaf. Maaf, yang diterjemahkan dari bahasa Arab berarti al-‘afwu dalam hal ini bermakna sebagai meninggalkan sesuatu dan memintanya, atau juga berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah [memaafkan]. Kata ini juga berarti habis tiada berbekas. Sehingga memaafkan berarti; luka yang terdapat di hati diobati dan kemarahan serta kejengkelan akibat perlakuan buruk dihapus sehingga tidak berbekas. Bahkan Nabi Saw pun dipesankan agar dapat memaafkan seseorang hingga terhapus tak berbekas, yang merupakan buah dari akhlak mulia dan budi pekerti luhur di dalam Islam. [sumber:alifmagz]